15 Titik Lahan Food Estate Terbengkalai di Kalteng, 3 Titik Seluas 274 Hektare menjadi Kebun Sawit

Tanjungpinang, Pejalan.or.id – Setelah tiga tahun berjalan, ribuan hektare lahan proyek food estate di Kalimantan Tengah lagi-lagi ditemukan terbengkalai. Lahan yang telah dibuka kini ditumbuhi semak belukar. Bahkan, ada ratusan hektare yang beralih menjadi perkebunan sawit swasta. Para petani mengaku menyerah menanam padi di lahan food estate setelah beberapa kali gagal panen.

Dilansir dari BBC News Indonesia, Temuan itu diungkap oleh Pantau Gambut yang memantau 30 area ekstensifikasi proyek lumbung pangan food estate di 19 desa di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau pada 2020-2023.

BBC News Indonesia menemukan kondisi yang sama saat mengunjungi salah satu desa yang diteliti, yakni Desa Tajepan, Kapuas, Kalimantan Tengah, pada Senin (14/10).

“Sekarang tidak ada hasilnya. Di tanah yang lebih tinggi, ada yang malah menanam sawit karena lebih berhasil. Kalau untuk padi, gagal terus,” kata Sanal, 69, salah satu petani yang ikut program food estate kepada wartawan Ahmad Supriandi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Bagi warga lainnya, Fadli, 46, lahan-lahan food estate yang terbengkalai itu memantik ingatan akan kegagalan keluarganya menggarap proyek serupa pada masa Orde Baru, Pengembangan Lahan Gambut (PLG).

Saat itu, keluarganya ikut menggarap proyek lahan gambut sejuta hektare di desa tetangga, Desa Palingkau Asri dan Desa Palingkau Jaya. Ini adalah proyek yang dicanangkan oleh Soeharto untuk lumbung pangan nasional, namun berujung gagal.

“Setelah dua atau tiga tahun, keluarga saya kembali lagi ke Desa Tajepan karena tidak berhasil,” kata Fadli.

Sejak pemerintah Presiden Joko Widodo mencanangkan perluasan proyek food estate di bekas lahan PLG, banyak pihak sangsi program ini akan berhasil.

Ini juga bukan laporan pertama yang mengungkap rentetan masalah di balik proyek food estate Jokowi.

Bukannya mengevaluasi, pemerintahan Jokowi justru memperluas area food estate hingga lebih dari 16.000 hektare di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau pada 2022.

Hasilnya: Dari 30 titik yang dipantau dan bersinggungan dengan kawasan gambut lindung, ditemukan 15 titik lahan food estate seluas 4.159,62 hektare yang terbengkalai. Selain itu, tiga titik lainnya seluas 274 hektare berubah menjadi kebun sawit.

Padahal, perluasan area food estate telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon seluas hampir 3.000 hektare atau setara 4.207 lapangan bola.

Jokowi seperti sengaja menjatuhkan diri ke lubang yang sama”, kata manajer kampanye dan advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana.

Menurutnya, “kegagalan berulang” dari program Food Estate di Kalimantan Tengah terjadi karena lahan tidak sesuai untuk pertanian dan pengelolaan yang buruk.

“Ada kesamaan antara food estate dengan proyek PLG zaman Soeharto, lagi-lagi dipaksakan di ekosistem gambut padahal hanya satu persen lahannya yang sesuai untuk pertanian,” kata Wahyu.

Pantau Gambut mendesak pemerintah mengevaluasi dan menghentikan proyek food estate, serta merehabilitasi lahan yang terbengkalai.

Namun pada akhir September lalu, Kementerian Pertanian justru berencana mencetak lebih banyak sawah di Kalimantan Tengah. Targetnya mencapai seluas 621.684 hektare hingga 2026.

‘Menanam padi di lahan itu sulit berhasil’

Sudah puluhan tahun lahan milik Sanal, 69, tak dia garap. Alasannya, lahan gambut rawa yang berlokasi di Desa Tajepan, Kabupaten Kapuas itu sering banjir sehingga membuatnya gagal panen.

Namun pada 2020 lalu, Sanal mengaku ditawari oleh pemerintah agar lahannya menjadi bagian proyek food estate.

“Bolehkah tanah pian [kamu] dimasukkan jadi food estate?” kata Sanal mengulangi pertanyaan orang pemerintah itu.

“Kata saya, boleh saja karena sudah puluhan tahun lahan itu tidak digarap,” jawabnya.

Saat itu Sanal berpikir, daripada lahannya yang sudah seperti hutan itu terbengkalai, lebih baik digarap dengan bantuan pemerintah.

Lahan food estate terbengkalai di Palingkau Asri (foto:istimewa)

Petani diminta menanam bibit padi varietas unggul yang diberi pemerintah. Hasil panennya kemudian akan dibeli oleh pemerintah.

Pada tahun 2021, sekitar 260 hektare lahan di Desa Tajepan akhirnya mulai dibuka untuk proyek food estate.

Desa Tajepan sejak lama dikenal sebagai salah satu desa penghasil padi di Kabupaten Kapuas. Namun itu ternyata tidak cukup untuk menjamin keberhasilan program food estate di sini.

Sanal dan petani lainnya mulai menanam bibit padi varietas unggul pada 2022. Hasilnya, gagal. Padi yang mereka tanam di lahan gambut itu tergenang banjir dari sungai yang meluap. Kondisi lahan gambut yang sudah rusak di situ tak mampu menyerap luapan air.

“Airnya sampai sepinggang orang dewasa,” tutur Sanal.

Namun mereka tak langsung menyerah. Pada 2023, Sanal dan petani lainnya kembali mencoba menanam bibit padi yang sama. Hasilnya lagi-lagi gagal.

Sepanjang hidupnya menjadi petani, Sanal dan warga Desa Tajepan terbiasa menanam bibit padi lokal yang batangnya tinggi. Jadi padi jenis ini bisa bertahan walau terendam di lahan gambut. Sementara, padi varietas unggul yang diberi pemerintah punya batang yang lebih pendek sehingga mudah terbenam.

Dua kali gagal sudah cukup membuat mereka kapok. Apalagi setelah itu, mereka juga tak pernah diminta menanam lagi untuk program food estate.

Akhirnya sebagaian besar lahan food estate di Desa Tajepan terbengkalai. Sebagian kecil dimanfaatkan untuk tanaman lain. Ada yang membersihkan gundukan tanah gambut bekas galian alat berat untuk ditanami jengkol, petai, dan buah-buahan yang bisa bertahan walau terendam.

“Lahan itu sudah jadi hutan lagi. Hanya pemilik lahan di situ yang membersihkan gundukannya untuk ditanami itu,” kata Sanal.

Ada pula warga yang akhirnya memilih menanam sawit karena dirasa lebih cocok ditanam di lahan gambut dan lebih menguntungkan.

Lahan food estate tumpang tindih dengan perkebunan sawit di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (foto:istimewa)

Belakangan, Sanal ikut-ikutan menanam sawit seperti tetangga-tetangganya.

“Tidak banyak [saya menanam sawit] paling hanya 10 sampai 15 pohon, karena menurut kami menanam padi di lahan [food estate] itu sulit berhasil,” tuturnya.

Walau food estate tak menghasilkan, mayoritas warga tetap bertani. Namun mereka melakukannya di lahan lain, menggunakan bibit lokal, tanpa didampingi pemerintah. Sanal mengaku cara ini lebih berhasil.

Terakhir kali panen, dia menghasilkan 50 kilogram beras yang kemudian dijual ke desa tetangga. Warga desa lainnya, Yamani juga punya cerita yang sama.

“Sedikit saja padi [food estate] yang ditanam bisa bertahan hidup,” tutur Yamani.

Salah satu penyebabnya menurut Yamani, tidak ada pintu air untuk mencegah luapan sungai ke lahan pertanian. Jadi bibit unggul dari pemerintah tak bisa bertahan.

Hanya satu persen yang cocok untuk pertanian

Hanya 1% dari 243.216 hektare lahan eks PLG yang cocok untuk pertanian, berdasar hasil uji laboratroium dan analisis spasial yang dilakukan Pantau Gambut.

Lahan gambut memiliki tingkat keasaman (pH) tinggi sehingga sulit diolah untuk ditanami padi sawah.

Sedangkan padi varietas irigasi dan tadah hujan, yang menjadi komoditas andalan program food estate, biasanya tumbuh di lahan yang punya tingkat keasaman netral.

“Menanam varietas itu di tanah gambut yang berkarakter asam dan miskin hara pada akhirnya hanya akan merugi,” kata peneliti Pantau Gambut, Juma Maulana.

Faktor lainnya yang menyebabkan proyek ini gagal, menurut Juma, adalah minimnya pelibatan petani.

“Para petani hanya dijadikan objek, tanpa pendampingan dan penyuluhan. Hampir di semua desa yang kami teliti seperti itu. Ada juga yang menerima sosialisasi, tapi tidak ada keberlanjutannya,” kata Juma.

“Bahkan pembukaan lahan dilakukan oleh kontraktor. Seolah tujuannya menghabiskan sekian anggaran, yang penting ada perluasan dan pembukaan lahan, tapi tidak sampai padinya jadi.”

Ini satu arah saja, petani dipaksa tanam satu jenis varietas padi yang enggak biasa mereka tanam. Pengetahuan lokal di sana juga hilang,” tutur Juma.

Sementara itu, kondisi lahan gambut yang terbengkalai dan tutupan pohon yang hilang dikhawatirkan akan menjadi sumber bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Pada 2023, Pantau Gambut mengatakan bahwa hampir 250 hektare area ekstensifikasi food estate terbakar pada 2023. Desa Palingkau Jaya, Palingkau Asri, dan Tajepan menjadi yang paling terdampak.

Saat dikonfirmasi soal temuan itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura Dan Perkebunan Kalimantan Tengah, Sunarti, mengatakan lahan-lahan itu terbengkalai karena “masyarakat tidak mau mengolah”.

Food estate itu kan kasih lahan, buka lahan, kasih bantuan bibit. Selanjutnya harus mandiri. Bantuan pemerintah kan tidak selamanya,” tutur Sunarti.

Menurut Sunarti, sudah tidak ada anggaran untuk program food estate di Kabupaten Kapuas sejak 2023. Ke depannya, yang akan dikembangkan adalah program cetak sawah.

“Yang cetak sawah itu beda dengan di lahan food estate itu kemarin, tidak boleh sama. Karena kemarin sudah dapat bantuan, beda lagi lah lokasinya,” kata dia.

BBC News Indonesia telah menghubungi pejabat Kementerian Pertanian perihal temuan ini. Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman tak berkenan diwawancara.

Sementara itu, Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Cadangan Logistik Strategis Kolonel Czi Wahyu Widi Setyanta tak merespons.

Bukan padi, malah jadi perkebunan sawit
Di antara ribuan hektare lahan yang tak produktif dan terbengkalai, Pantau Gambut juga menemukan ada lahan food estate yang tumpang tindih dengan izin hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit swasta di Desa Tajepan dan Palingkau Asri.

Analisis spasial menunjukkan tumpang tindih itu terjadi tepatnya di titik FE 19, 24 dan 27 yang sesuai dengan Peta Kerja Sistem Informasi Desa di Desa Tajepan dan Palingkau Asri. Luasnya mencapai 274 hektare.

Pantau Gambut menduga terjadi pelanggaran di tengah tumpang tindih kewenangan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020, izin HGU semestinya hanya diperbolehkan berada di Area Penggunaan Lain (APL), tak boleh di Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP).

BBC News Indonesia telah mengirimkan surat permohonan hak jawab ke alamat perusahaan tersebut di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, sesuai yang terdaftar di situs Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU). Namun hingga artikel ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan respons. Sementara itu, Pejabat Kementerian Pertanian tak merespons.

Tumpang tindih lahan itu juga berdampak terhadap warga. Dua warga Desa Tajepan, Sanal dan Yamani mengaku bahwa lahan milik mereka masuk ke dalam klaim HGU perusahaan tersebut.

Kepada BBC News Indonesia, mereka mengeklaim bahwa tanah mereka diduga dijual ke perusahaan sawit tersebut oleh mantan perangkat desa tanpa sepengetahuan mereka.

“Tahunya baru setelah selesai program cetak lahan, waktu kami mau mengusulkan untuk diterbitkan sertifikat, ternyata lahan kami sudah berstatus HGU [hak guna usaha] oleh perusahaan,” ujar Yamani.

Akankah kegagalan yang sama terulang lagi?

Atas temuan yang terjadi di Kalimantan, Pantau Gambut mendesak pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan proyek food estate.

Apalagi sejauh ini, pendekatan pangan lewat perkebunan monokultur yang luas itu tidak pernah berhasil.

“Sepanjang pelaksanaan awal periode awal dan akhir pemerintahan Jokowi semestinya menjadi catatan bagi pemerintah,” kata manajer kampanye dan advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana.

Namun pemerintahan Prabowo Subianto, yang akan mulai berjalan pada Minggu (20/10), menjadikan program lumbung pangan sejenis ini sebagai prioritas.

Wahyu mengatakan kegagalan yang sama berpotensi akan terulang.

Kubu Prabowo tampaknya telah menyadari soal sulitnya pengembangan food estate di Kalimantan. Namun proyek semacam ini tetap akan dilanjutkan.

Pada akhir September lalu, anggota dewan pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Drajad Wibowo menyinggung soal “tanahnya yang tidak terlalu subur” dan “kurang cocok untuk beberapa hal”. Oleh sebab itu, program food estate akan dikembangkan di Merauke.

“Yang sudah dipilih akan tetap diteruskan, tapi kami menyadari tidak bisa mengandalkan Kalimantan,” tutur Drajad ketika berbicara dalam UOB Economic Outlook di Jakarta, Kamis (26/09).

“Karena itu, sekarang kita coba kembangkan di Merauke karena Merauke tanahnya flat (datar), luas, tapi infrastrukturnya masih kurang,” sambung Drajad.

Program cetak sawah di Merauke sendiri telah menuai penolakan dari masyarakat adat yang tak mau ruang hidupnya dirampas dan terdampak deforestasi.

Alih-alih memperluas proyek lumbung pangan ke daerah lain, pemerintah semestinya fokus merehabilitasi lahan food estate yang terbengkalai.

Wahyu Perdana dari Pantau Gambut mengingatkan bahwa lahan gambut yang rusak dan terbengkalai adalah sumber bencana: rentan karhutla saat kemarau dan rentan banjir saat musim hujan.

“Saya berharap pemerintahan yang baru ini melakukan evaluasi dan tidak lagi bergantung pada pendekatan pangan skala luas seperti ini,” kata Wahyu.

“Kalau proyek semacam ini dipaksakan juga di Papua, kami khawatir ini hanya akan memindahkan bencana yang sudah terjadi di Kalimantan ke Papua,” tuturnya. (ysi)

_____

Share |

Editor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terkait