Lingkungan, pejalan.or.id – Pemanasan global mendapatkan perhatian sebagai persoalan sosial pada era 1970-1980an, dan menuai banyak protes sejak Conference of the Parties (COP) UNFCCC 15 di Copenhagen tahun 2009. Sejak perhelatan UN summit digelar setiap tahun mulai 1995, organisasi gerakan lingkungan yang menuntut adanya kesepakatan iklim antar pihak yang lebih kuat sudah mulai hadir.
Kemunculan climate-activism dipicu oleh beberapa hal. Pertama, bukti ilmiah mengenai perubahan iklim yang perkuat oleh pemberitaan media. Kemudian, dunia menyadari bahwa fenomena tersebut telah dialami. Disusul setelahnya, tema-tema lain muncul, berkaitan dengan politik iklim dan keadilan iklim yang menyasar institusi yang dipandang neoliberal seperti WTO dan IMF (de Moor, 2020). Gerakan tersebut dimotori terutama oleh organisasi non pemerintah dan juga memunculkan figur-figur individual dan tokoh muda yang menjadi bagian dari gerakan ini.
Belajar dari aktivis iklim muda, Greta Thunberg, orang muda bisa menjadi bagian penting dari gerakan sosial yang menyuarakan pesan penting untuk merespon perubahan iklim.
Dunia mengenal Greta Thunberg, seorang perempuan muda asal Swedia yang dikenal luas sebagai salah satu pelopor aktivis iklim yang kritis mempertanyakan keseriusan upaya para pihak dalam mengatasi bahaya iklim. Pada usia 15 tahun, ia memulai “School Strike for Climate” di luar Parlemen Swedia. Protes ini mendapat liputan media yang luas dan berhasil mengundang ribuan anak muda dari seluruh dunia untuk bergabung dalam gerakan yang sama di Eropa, Amerika, hingga Inggris. Gerakan ini kini dikenal sebagai Friday for Future.
Puncaknya, pada September 2019, kehadirannya dalam perhelatan iklim Climate Action Summit yang digagas Perserikatan Bangsa-bangsa di di New York Climate. Greta menarik perhatian dunia dengan pernyataannya:
”Anda telah mencuri mimpi dan masa kanak-kanak saya dengan kata-kata kosongmu. Kami di ambang kepunahan massal, dan yang anda bisa bicarakan hanya tentang uang, dan dongeng mengenai pertumbuhan ekonomi yang kekal. Betapa beraninya!”
Komentar ini memicu seruan yang serupa hingga 163 negara dan mengubah pandangan serta perilaku terhadap perubahan iklim. Pengaruhnya dikenal sebagai “Efek Greta”.
Aktivis iklim muda Greta Thunberg. Foto : Stefan Mülle/flickr
Sebagai catatan, perjalanan Greta menuju New York dilakukan saat usianya masih 16 tahun, dengan Yacht alias perahu layar bebas emisi, melintasi Samudera Atlantik selama 2 pekan demi menghindari jejak karbon, menyadari bahwa penerbangan udara merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
Kedatangannya disambut dengan sorakan dan sambutan meriah saat melintasi Patung Liberty dan melabuhkan jangkar di pelabuhan Manhattan. Sejak saat itu, Greta dikenal dunia dan terus aktif sebagai pembicara dalam banyak forum dan perhelatan iklim dunia.
Menarik untuk mencermati latar belakang Greta. Dilahirkan dari keluarga seniman, Greta dibesarkan untuk peduli terhadap perubahan iklim oleh kedua orang tuanya sejak usia dini.
Meskipun mengidap sejenis autisme, Greta membebaskan dirinya untuk mengambil pilihan yang diyakininya, yang kemudian membantunya menciptakan perubahan dengan perbedaan yang ditunjukkannya.
Sejak saat itu, Greta tumbuh menjadi individu yang kritis dan mengambil langkah-langkah drastis dalam kehidupannya. Beberapa tahun setelahnya misalnya, ia beralih menjadi vegetarian dan menolak bepergian dengan pesawat.
Terinspirasi oleh figur Greta dan aktivis muda lainnya, beberapa pelajaran yang dapat diambil. Pendidikan lingkungan dan perubahan iklim sejak usia dini memberikan bekal yang sangat berharga, apapun profesi orang tua. Peran keluarga menjadi kunci dalam hal ini.
Anak-anak secara naluriah mencari informasi untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka. Peran orang tua sangat penting untuk memperkenalkan informasi ini. Di masa ini, orang tua tidak memiliki alasan lagi untuk tidak mengikuti perkembangan informasi, karena media informasi terdedia luas.
Dukungan dari orang tua dan keluarga diperlukan agar anak-anak dapat membuat pilihan-pilihan yang tepat. Bagi anak-anak yang “berbeda” atau memiliki “kekhususan”, Greta mengajarkan bahwa perubahan tidak mengenal batas bagi siapapun. Bahkan secara sadar, keterlibatan Greta dalam aktivisme iklim menjadi semacam terapi bagi autisme yang dideritanya, dan membuktikan gejalanya menjadi lebih ringan, bahkan membebaskannnya.
Efek Greta yang demikian dahsyat juga mengajarkan bahwa jumlah massa bukan menjadi ukuran untuk bisa mengamplikasi pesan dan menarik perhatian. Bahkan satu orang anak muda perempuan bisa memercikkan api gerakan menjadi sedemikian besar. Cara-cara yang digunakan juga tanpa kekerasan. Padahal gerakan sosial dikenal banyak menerapkan cara-cara yang lebih berani untuk menarik perhatian pada isu yang digemakan.
Sebagai aktivis muda, Greta berusaha untuk konsisten dengan pesan yang disampaikannya dengan perilaku dan pilihan-pilihan hidupnya. Ia membangkitkan banyak simpati dari sini.
Saat ini di Indonesia dan global, terdapat banyak kesempatan yang terbuka bagi aktivis iklim muda untuk turut dalam gerakan sosial. Pendekatan dan metodologi bisa berbeda sesuai dengan pilihan organisasi berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Namun yang paling penting adalah membuat orang muda memahami isu secara tepat, mengartikulasikan pesan melalui media yang tepat dan pada momen yang sesuai.
Namun diatas semuanya, adalah untuk tidak berhenti dengan aktivisme yang bersifat sporadis, tetapi mengarahkan energi orang muda pada perubahan kebijakan yang mereka advokasikan sendiri. Dengan begitu, kita bisa berharap melahirkan figur-figur muda baru baru akan menjadi pemimpin masa depan yang peka iklim./pejalan
Editor : pejalan.or.id