Bangka Belitung, pejalan.or.id – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] mendorong pengembangan hutan tanaman industri [HTI] menjadi kebun energi atau hutan tanaman energi [HTE] di Indonesia.
KLHK akan melakukan pelepasan kawasan hutan seluas 6,91 juta hektar, yang sekitar 78,39 persen adalah perkebunan sawit, yang berpotensi menjadi sumber bioenergi, sebagaimana dikutip dari situs PPID KLHK, akhir Januari 2021.
Berdasarkan laporan Institute for Essential Services Reform [IESR], potensi teknis biomasa di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 232,1 MW. Sebagian besar bahan baku berasal dari perkebunan sawit [155,7 MW], yang terbagi dalam biji [94,6 MW], serat [16,7 MW], dan tandan kosong [44,4 MW]. Disusul padi [75,8 MW], akasia [0,3 MW], cokelat [0,2 MW], dan kopi [0,1 MW].
Eko Bagus Solihin, Dosen Universitas Islam Negeri [UIN] Raden Fatah Palembang, mengatakan dalam konteks Kepulauan Bangka Belitung, HTE dapat berbahaya bagi keberlanjutan ekosistem hutan apabila melakukan deforestasi.
“Apalagi, pertambangan timah selama ini telah banyak mengubah hutan alami menjadi lahan kritis,” kata penulis buku “Merebut Laut: Kontestasi Wacana Lingkungan dan Tambang di Belitung Timur” tersebut, kepada Mongabay Indonesia, Senin [26/8/2024].
Dikutip dari rri.co.id, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan, luasan lahan kritis di wilayah ini mencapai 167.065 hektar. Sekitar 70 persen, disebabkan aktivitas penambangan timah.
Sementara dari 1,6 juta hektar luas daratan Bangka Belitung, tersisa 204.974 hektar tutupan hutan [DIKPLHD Bangka Belitung, 2022].
Jika dilihat berdasarkan fungsi kawasannya, Bangka Belitung memiliki luas kawasan hutan sekitar 657 ribu hektar, dan yang terluas adalah kawasan hutan produksi [HP], sekitar 435.892,06 hektar.
Menurut Walhi Kepulauan Bangka Belitung, lebih dari setengah kawasan HP tersebut atau sekitar 256.290 hektar, dikuasai perusahaan HTI. Sementara perkebunan sawit, dikutip dari buku statistik perkebunan Indonesia, luasnya mencapai 250.376 hektar. Sekitar 79.044 hektar, merupakan perkebunan rakyat dan 171.332 hektar perkebunan swasta.
“Sejauh ini, adanya konsesi HTI dan perkebunan sawit di Bangka Belitung sejalan dengan munculnya konflik dan kerusakan lingkungan. Hadirnya skema kebun energi akan memperpanjang itu semua,” kata Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung.
Mengutip dokumen Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030 KLHK, terdapat 97.192 hektar hutan alam di kawasan HP Bangka Belitung. Sekitar 46.042 hektar berada di luar konsesi dan sekitar 51.150 hektar di dalam konsesi.
“Adanya skema kebun energi, berpotensi memperluas dan memperkuat ekspansi HTI, sehingga mengancam hutan alami yang berada di dalam atau luar konsesi,” kata Hafiz.
Ancaman deforestasi
Sudah ada dua perusahaan HTI di Pulau Bangka yang berkomitmen membangun kebun energi atau HTE, yaitu PT Bangkanesia [51.269 hektar] di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan, serta PT Istana Kawi Kencana [14.116 hektar] di Kabupaten Bangka, menurut laporan Forest Watch Indonesia [FWI], Juli 2024.
Di kedua konsesi tersebut, tercatat deforestasi cukup masif. Data FWI menunjukkan, 2.758 hektar hutan alam hilang selama 2017 hingga 2021. Sementara 4.332 hektar hutan alam tersisa, terancam deforestasi terencana, untuk memenuhi kebutuhan pembangunan HTE.
“Ambisi transisi energi melalui pembangunan HTE di Bangka diselimuti praktik yang berpotensi merusak sumber daya hutan dan lingkungan,” tulis laporan tersebut.
Kedua perusahaan ini juga memiliki jejak rekam bermasalah dalam pengelolaan izin. Pada 2022, izin Bangkanesia sudah dicabut KLHK.
“Belum ada keterangan lebih dalam mengenai kelanjutan usaha yang dilakukan Bangkanesia,” tulis FWI.
Sementara Istana Kawi Kencana, pada 2023, masuk dalam enam perusahaan HTI yang direkomendasikan untuk dicabut izinnya oleh DPRD Bangka Belitung kepada KLHK.
“Rekomendasi ini didasarkan pada temuan pelanggaran dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut,” dikutip dari betahita.id.
Secara nasional, sektor energi, hutan, dan penggunaan lahan [forest and land use/FoLU] akan digenjot hingga 97% guna memenuhi target ambisius pengurangan emisi 31,89% [43,2% dengan dukungan internasional] pada 2030.
Untuk mewujdukan itu, FWI mencatat, akan ada 11 juta hektar hutan tanaman energi yang dibangun dan dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia. Ini termasuk rencana KLHK untuk membangun HTE seluas 1,29 juta hektar di kawasan hutan kepada 31 pengusaha kehutanan.
Meskipun kebijakan FoLU Net Sink 2030 yang mendorong ekspansi hutan tanaman tersebut, dimaksudkan sebagai upaya rehabilitasi, praktik perusahaan hutan tanaman dilakukan dengan mendegradasi hutan alam.
“Tanpa mitigasi perlindungan hutan alam, FWI memproyeksikan 4,65 juta hektar hutan alam akan musnah akibat pembangunan hutan tanaman [terutama energi] di dalam konsesi HPH [Hak Pengusahaan Hutan], HTI, dan Perhutanan Sosial [PS],” tulis laporan FWI.
Mengancam hutan adat
Di Pulau Bangka, sebagian besar hutan adat tersisa, yang menjadi rumah beragam flora dan fauna penting secara ekologi dan budaya, berada di kawasan hutan produksi.
Misalnya, hutan adat Suku Mapur [Kabupaten Bangka] yang hingga saat ini belum mendapat pengakuan negara. Namun, masuk kawasan HP yang sebagian besar izin telah dikuasai perkebunan minyak sawit dan HTI.
Merujuk situs resmi SIGAP KLHK, kawasan HP di Kabupaten Bangka Barat mencapai 76.960 hektar. Sekitar 38.568 hektar dikuasai tiga konsesi perusahaan HTI, yaitu PT Agro Pratama Sejahtera [8.725,58 hektar], PT Inhutani V [15.726,76 hektar], dan PT Istana Kawi Kencana [14.115,79 hektar].
“Sebagian besar izin HTI ini berada di hutan larangan Suku Mapur, seperti hutan Gunung Cundong, Kasak Tade, hingga Bukit Tabun,” kata Jessix Amundian, dari Tumbek for Earth, akhir Agustus 2024.
Hal serupa juga terjadi pada ruang hidup Suku Jerieng di Kabupaten Bangka Barat yang terhimpit perkebunan sawit dan HTI. Sejak tahun 2017, masyarakat bersama Walhi Kepulauan Bangka Belitung, mendesak pencabutan izin HTI milik PT Bangun Rimba Sejahtera [BRS], seluas 66.460 hektar, yang tersebar di 39 desa.
Baru-baru ini, gelombang penolakan masyarakat berlanjut melalui audiensi di kantor Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Menurut Eko Bagus Solihin, jika pengelolaan HTE diserahkan kepada perusahaan, jangan sampai konsesinya menghasilkan konflik agraria yang baru, karena persoalan perampasan lahan.
“Jika dikelola serampangan, berpotensi menghasilkan masalah ekologis baru bagi masyarakat setempat. Proses transporting perlu diperhitungkan ke dalam life cycle emisi karbon dalam produksi energi biomassa,” katanya.
Sebaliknya, HTE seharusnya dapat dikelola dengan memanfaatkan lahan-lahan kritis yang tersebar di Bangka Belitung, akibat pertambangan timah. Akan tetapi, apakah ada perusahaan yang mau mengolah lahan kritis menjadi hutan energi?
“Sejauh ini, pengolahan lahan kritis menjadi hutan energi nampaknya masih sebatas ide dan belum cukup menguntungkan secara bisnis, sehingga belum ada perusahaan yang menyanggupi gagasan ini,” lanjutnya.
Selain persoalan ekologis, HTE seharusnya dapat berkontribusi langsung bagi perekonomian masyarakat lokal.
“Tetapi, nampaknya sejauh ini pengembangan hutan energi juga masih menggunakan skema konsesi dan tidak memiliki dampak ekonomi langsung bagi masyarakat lokal,” tegas Eko.
Hak pengelolaan harus jelas
Jessix Amundian, dari Tumbek for Earth mengatakan, ketika sebuah izin sudah dicabut, semestinya hak pengelolaan harus dikembalikan kepada masyarakat setempat.
Ia mencontohkan kasus Bangkanesia yang telah dicabut izinnya pada 2022. Namun, karena tidak ada kejelasan pengelolaan, pada 2023, ada dugaan wilayah konsesi tersebut dikuasai pihak asing.
“Jika tidak diantisipasi, hal serupa bisa terjadi kepada izin-izin HTI lain di Pulau Bangka, yang sedang direkomendasikan untuk dicabut,” katanya.
Dikutip dari faktaberita.co.id, pada 2023 lalu, selain Istana Kawi Kencana, ada lima perusahaan lain yang direkomendasikan DPRD Bangka Belitung untuk dicabut izinnya ke KLHK. Ada PT Bangun Rimba Sejahtera [BRS], PT Agro Pratama Sejahtera [APS], PT Agrindo Persada Lestari [APL], PT Hutan Lestari Raya, dan PT Andalan Karya Pertiwi [AKP].
Lebih lanjut, Jessix mengatakan, rekomendasi pencabutan izin tersebut berkaitan dengan tidak adanya aktivitas yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
“Itu artinya, ada banyak kawasan hutan alami yang masih tersisa di dalam wilayah konsesi. Ini harus diselamatkan dan dikelola secara arif bersama masyarakat,” paparnya.
Ismail [56], warga Dusun Sadap, Desa Perlang, yang masuk konsesi PT Bangkanesia mengatakan, sejak awal kehadiran HTI di dusun mereka sama sekali tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.
“Kami berharap, ketika sudah dicabut izinnya, dapat dikembalikan kepada masyarakat hak pengelolaannya. Kalau sampai dibangun HTE, sia-sia saja perjuangan kami dalam hal pencabutan izin tersebut,” tegasnya.(***)
Editor : pejalan.or.id