Fakta atau Mitos Manfaat Sirip Hiu untuk Kesehatan?

Tanjungpinang, Pejalan.or.id – Kemakmuran dan kesehatan seringkali dikaitkan sebagai salah satu alasan sebagian orang untuk mengonsumsi hal yang aneh seperti ikan hiu dan siripnya. Hal ini pula yang menjadikan permintaan ikan hiu maupun siripnya  terus meningkat hingga mengancam populasinya di alam.

Berdasarkan buku kesehatan China diketahui manfaat dari sirip ikan hiu ini meliputi peremajaan kulit, peningkatan nafsu makan, bermanfaat untuk energi, untuk ginjal, paru-paru, tulang dan beberapa bagian tubuh lainnya, seperti dikutip dari FAO.org, Rabu (2/2/2011).

Namun, nyatanya manfaat sirip ikan hiu hanyalah mitos. Hal ini karena:

  • Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung manfaat sirip ikan hiu untuk kesehatan
  • Mengonsumsi sirip ikan hiu dapat meningkatkan risiko demensia dan keracunan logam berat seperti merkuri
  • Mengonsumsi sirip ikan hiu dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, merusak sistem saraf pusat, dan menurunkan fungsi otak

Sirip ikan hiu sangat dicari untuk pengobatan tradisional Tiongkok dan sup sirip hiu yang dianggap sebagai makanan lezat di Asia. Permintaan tinggi terhadap sirip ikan hiu menyebabkan praktik “Shark Finning”, yaitu pengambilan sirip ikan hiu dengan memotong sirip dalam keadaan hidup-hidup. Praktik ini telah menyebabkan populasi hiu menurun secara global dan banyak spesies terancam punah.  

Hiu yang kehilangan sirip akan kehilangan keseimbangan dan mati di dasar laut (Foto:Istimewa)

Hiu berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut dan terkendalinya populasi ikan. Pemotongan sirip hiu dapat berakibat fatal bagi kemampuan berenang hiu, sehingga hiu tidak mampu berburu dan menghindar dari predator.  

Dilangsir dari Detik.com, Ribuan orang menyantap sirip ikan hiu karena dianggap memiliki banyak manfaat. Pada dasarnya sebagian anggapan masyarakat itu adalah mitos belaka.

“Sebenarnya hiu sebagai top predator pada ekosistem laut memakan ikan-ikan lebih kecil. Dapat dibayangkan banyak kondisi laut tercemar, membuat ikan tersebut memiliki kandungan logam atau merkuri lebih tinggi dibandingkan biota laut lainnya,” ujar Kordinator Program Penangkap Ikan, WWF Indonesia, Hafizh Adyas, dalam konfrensi pers #SOSharks, di Anomali

Dilangsir dari Mongbay.co.id, 8 tahun silam, Ikan hiu adalah ikan predator yang memiliki fungsi tegas untuk menjaga ekosistem di lautan luas. Keberadaannya menandakan bahwa ekosistem laut sedang dalam kondisi baik. Jika populasi ikan yang terkenal ganas itu menurun, maka bisa dipastikan akan turun pula kualitas ekosistem laut di sekitarnya.

Fakta tersebut sudah diketahui dan dipahami oleh pecinta lingkungan, dan juga para pegiat alam yang ada di dunia. Tak terkecuali, bagi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia yang fokus mengkampanyekan penyelamatan hiu di Indonesia dan di dunia.

Coral Triangle Program WWF Indonsia Wawan Ridwan, dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Rabu (25/1/2017), menjelaskan, sebagai hewan predator, hiu bisa dengan mudah menyeleksi apa saja yang harus dimakan dan apa yang tidak.

Studi oleh Neil Hammerschlag, dkk, ahli kelautan asal Universitas Miami, USA pada 2016 memperkuat laporan tersebut. Dalam laporan berjudul Cyanobacterial Neurotoxin BMAA and Mercury in Shark itu, Neil banyak mengulas risiko kesehatan yang dihadapi akibat mengkonsumsi hiu.

Neil menyebut, hiu merupakan predator berumur panjang yang mengakumulasikan racun-racun dari mangsanya. Bahkan, selain merkuri (Hg) sirip dan tulang rawan hiu juga mengandung β-N-methylamino-l-alanine (BMAA), racun sianobakteri yang banyak ditemukan dan terkait dengan penyakit neurodegeneratif.

Neil melakukan uji sampel terhadap beberapa hiu yang ada di Samudera Atlantik Selatan dan Pasifik. Hasilnya, hampir semua sampel yang diuji terkonfirmasi mengandung BMAA.

“Dari 55 sampel yang diuji, hanya 7 yang kandungan BMAA nya berada di bawah batas deteksi pengujian,” tulis Neil. Begitu juga dengan konsentrasi merkuri pada sirip dan tulang yang mencapai 0,05 hingga 13,23 ng/mg.

Di dunia, spesies hiu pari tercatat lebih dari 500 spesies. Wilayah perairan Indonesia disebutkan Mukhlis merupakan habitat dengan jumlah spesies paling banyak ditemukan. Kendatipun dalam waktu yang sama, Indonesia termasuk negara dengan penangkapan paling banyak.

Menurut Mukhlis, ada banyak riset yang menjelaskan kandungan senyawa berbahaya pada hiu. Karena itu, adanya anggapan bahwa mengkonsumsi hiu berguna untuk kesehatan, menurutnya hanya mitos belaka dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

“Memang aneh. Dianggap dapat menambah vitalitas, padahal tidak karena belum ada studi ilmiah manapun yang menjelaskan itu,” jelas Mukhlis. Namun demikian, pada masyarakat tertentu, di Tiongkok misalnya, konsumsi hiu sangat digemari.

Bagi masyarakat di Tiongkok, mengonsumsi hiu, tidak semata karena anggapan soal khasiat tadi. Tetapi, juga prestise. “Jadi kalau di restoran, mereka yang pesen sup sirip hiu itu diangap sebagai orang terpandang, terhormat,” ujarnya.

Anggapan itu yang pada akhirnya justru mengancam kelestarian hiu di masa depan. Padahal, sebagai predator puncak, menurut Mukhlis, hiu berperan penting mengontrol keseimbangan ekosistem.

Berkurangnya populasi hiu, apalagi punah, akan berpotensi menyebabkan ekosistem kolaps. Sebab itu pula, hiu kerap dijuluki sebagai ocean regulator.

Sup Sirip Hiu

Dari Langsiran WWF.id 4 tahun silam, sirip hiu terkenal sebagai hidangan tradisional yang bermula dari kekaisaran Tionghoa. Konon katanya, hidangan ini melambangkan kesejahteraan, kesuksesan dan kemakmuran. Harganya yang mahal membuat sup sirip hiu hanya dapat dinikmati keluarga kaisar saja di zaman dulu. Namun dewasa ini, akses mendapatkan sirip hiu semakin tersedia dan mudah untuk didapatkan. Hal tersebut pun membuat semakin banyak orang yang dapat mengonsumsinya. Seiring berjalannya waktu, permintaan sirip hiu untuk dikonsumsi terus meningkat, terutama menjelang hari raya Imlek. 

Permintaan sirip hiu menjadi salah satu penyebab turunnya populas hiu dari tahun ke tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shark Conservations Team WWF-Indonesia, beberapa restoran dan hotel di Jakarta dapat menghidangkan sekitar 12.633 kilogram sirip hiu, dalam kurun waktu satu tahun. Sedangkan di Kuta, Bali, ditemukan sebanyak 12 restoran dapat menghidangkan sekitar 2.050 kg sirip hiu, dan 756 kg hidangan kepala hiu.

Selain faktor budaya yang mendukung konsumsi sup sirip hiu, terdapat pula banyak anggapan bahwa sup sirip hiu memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Sirip hiu dipercaya dapat meningkatkan kualitas kulit, menurunkan kolesterol, melawan kanker, mencegah gangguan jantung hingga meningkatkan kemampuan seksual. Namun hal ini tidaklah setimpal dengan resiko yang diambil.

Pertama, kandungan merkuri pada sirip hiu tergolong tinggi. Apa ancaman yang didapatkan konsumen ketika terpapar konsentrasi merkuri yang tinggi? Mengonsumsi merkuri meningkatkan risiko gangguan pada saraf, dan juga menyerang berbagai macam organ tubuh, di antaranya mata, ginjal, dan hati. Selain itu, kadar merkuri jika dikonsumsi oleh ibu hamil akan berisiko mengganggu perkembangkan janin.

Kedua, studi terbaru mengungkapkan bahwa ditemukannya sianobakteri yang merupakan bakteri penghasil kandungan non-proteinogenic amino acid (BMMA). BMMA adalah neurotoksin yang berpotensi memiliki peran dalam berbagai penyakit saraf. Seperti demensia, penyakit parkinson, ALS, maupun Alzheimer. Kehadiran sianobakteri pada hiu diperkirakan muncul karena daerah migrasinya.

Ketiga, daging hiu mengandung banyak urea. Urea merupakan hasil dari pengolahan protein yang dilakukan oleh ginjal. Jika manusia mengonsumsi kadar urea yang banyak, maka hal tersebut akan meningkatkan kerusakan ginjal bahkan dapat menyebabkan gagal ginjal.

Setelah kita tilik kembali, mengkonsumsi hiu tidak sebanding dengan banyaknya risiko yang diambil. Selain menyebabkan berbagai penyakit yang dapat membahayakan tubuh, mengonsumsi hiu secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan populasi hiu secara drastis. Kepunahan menjadi momok ancaman yang nyata bagi hiu, dan kepunahan hiu mampu menyebabkan terganggunya rantai makanan serta keseimbangan ekosistem laut. (***)

Editor : _____

Share |

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terkait