Tanjungpinang, pejalan.or.id – Pemerintahan Presiden Joko Widodo, segera berganti ke Prabowo Subianto begitu juga susunan kementerian dan lembaga kemungkinan terjadi perubahan. Bagaimana nasib Kementerian Lingkungan Hidup, posisi kuat atau makin lemah?
Santer kabar akan ada pemisahan nomenklatur dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan bakal bergabung dengan Kementerian ATR/BPN.
Berbagai organisasi lingkungan mendesak pemisahan ini makin memperkuat bukan sebaliknya melemahkan perlindungan lingkungan hidup.
Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) saat dihubungi Mongabay, Sabtu (5/10/24), menekankan, agar hak prerogatif presiden menentukan nomenklatur bisa memastikan pengamanan lingkungan lebih baik.
“Kami berharap memang tujuannya baik. Kementerian ini dibuat untuk fokus dalam mengatasi masalah lingkungan, tidak campur dengan Kementerian Kehutanan,” kata Dodo, panggilan akrabnya.
Namun, katanya, kinerja KLHK yang sudah baik jangan sampai jadi kerdil atau hilang lewat pemisahan ini. Salah satunya, beberapa balai dan kewenangan dari direktorat jenderal dan yang ada hingga tingkat tapak.
“Misal, penegakan hukum. Kita kan sudah ada balai, ya. Jadi, proses penegakan hukum jauh lebih masif, terstruktur dan punya impact,” kata Dodo.
Kerja seperti ini tidak boleh hilang ketika pemerintah memisahkan dua nomenklatur Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Untuk itu, perlu kajian lebih komprehensif supaya capaian ini bisa berlanjut atau lebih kuat.
Kalau harus terpisah, hal yang mungkin dilakukan dengan membangun kembali Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di daerah. “Jangan sampai akhirnya jadi lemah kalau dipisah. Kan kita tidak mau seperti itu. Kita mau kalau dipisah itu tujuannya pastikan fokus dari masing-masing.”
Dia contohkan, Kementerian Kehutanan akan fokus pada kehutanan lestari, perhutanan sosial dan agenda kehutanan lain. Sedang Kementerian Lingkungan bisa fokus pada agenda lingkungan, tata ruang dan perubahan iklim.
“Kalau itu yang terjadi, menurut saya bisa-bisa aja. Jadi, tidak mengurangi apa yang sudah baik di era sekarang, terutama dalam konteks desain kelembagaan,” ucap Dodo.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyuarakan hal senada. Menurut dia, dua kementerian yang terpisah memungkinkan masing-masing lebih responsif terhadap isu-isu yang berkembang di bidangnya. Terlebih lagi, kerusakan lingkungan dan dampak dari krisis iklim sudah sangat meluas.
KLH, misal, bisa lebih cepat merespons krisis lingkungan, seperti pencemaran atau bencana alam terkait perubahan iklim, tanpa harus berkoordinasi dengan kementerian lain. Begitu juga Kementerian Kehutanan, dapat memusatkan perhatian pada pengelolaan hutan, produktivitas kayu, dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan.
“Hal ini dapat meningkatkan efektivitas penanganan masalah yang memerlukan perhatian segera,” katanya.
Rio, panggilan akrabnya, menyebut gagasan pemisahan KLHK menjadi dua entitas tidak melupakan penguatan KLH hingga ke daerah. Pasalnya, persoalan penanganan lingkungan hidup dan kerusakan karena penegakan hukum KLHK sangat ambigu.
Sebenarnya, KLHK melakukan pengelolaan lingkungan hidup dengan baik, termasuk penegakan hukum. Tetapi, karena KLHK gabung dengan kehutanan yang jadi penyebab kerusakan lingkungan hidup, kebijakan jadi ambigu.
Dia bilang, konteks masalah ini yang membuat perlu ada pemisahan dua entitas. “Dengan urgensi krisis iklim saat ini, sudah sewajarnya KLHK dipisah menjadi dua entitas dan diperkuat. KLHK ini di satu sisi memberikan izin, sisi lain lembaga ini harus melakukan penegakan hukum.”
Rio yakin, kalau gagasan ini jalan KLH akan menjadi kementerian kuat. Kementerian ini sudah memiliki Undang-undang (UU) Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bisa jadi pondasi kebijakan penegakan hukum.
Pemisahan, katanya, juga akan memperkuat KLH agar tidak menjadi kementerian yang hanya jadi pemadam kebakaran. Dia bilang, KLH juga harus restrukturisasi sampai ke daerah agar kerja-kerja penegakan hukum terhadap pelaku perusak lingkungan bisa lebih maksimal.
Gagasan pemisahan KLHK menjadi dua entitas kementerian ini, katanya, bisa mendorong lahirnya Pengadilan Lingkungan Hidup agar instrumen lingkungan hidup bisa jadi pertimbangan khusus. Banyak kasus lingkungan hidup tidak berjalan di pengadilan karena hakim-hakim kurang pemahaman soal lingkungan hidup.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia juga memandang pemisahan KLHK menjadi dua entitas memiliki dampak positif. Misal, KLH akan lebih independen dalam penegakan hukum, tanpa terbebani oleh agenda kehutanan yang berbeda.
Namun, kata Linda, hal itu memerlukan keseriusan dari personil KLH dalam menjalankan penegakan hukum tegas, dan membangun kolaborasi erat dengan kementerian/lembaga lain termasuk masyarakat sipil.
Selain itu, perlu ada peningkatan anggaran signifikan untuk memperkuat kapasitas penegakan hukum di kementerian ini.
Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara, menyerukan kajian matang akan pemisahan tugas pokok dan fungsi dari KLHK. Pasalnya, dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, lingkungan dan kehutanan memiliki hubungan sangat erat.
Sebuah kebijakan baik harus mempertimbangkan kedua aspek ini secara holistik. Dengan memisahkan kementerian, katanya, ada risiko besar bahwa kebijakan yang diambil KLH dan KH akan berjalan di jalur berbeda.
Misal, KH mungkin lebih fokus pada peningkatan produktivitas hutan dan pembukaan lahan baru untuk kepentingan ekonomi, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap keanekaragaman hayati dan kualitas lingkungan.
Sisi lain, KLH mungkin berupaya melindungi kawasan hutan yang sebenarnya sangat penting bagi ekosistem, tetapi tidak memiliki kewenangan cukup untuk mempengaruhi keputusan di KH.
“Akibatnya, kebijakan saling bertentangan muncul, menciptakan kebingungan dan ketidakpastian bagi para pemangku kepentingan.”
Selain itu, pemisahan ini juga berpotensi meningkatkan kompleksitas birokrasi. Dalam struktur terpisah, proses pengambilan keputusan menjadi lebih lambat dan rumit.
Koordinasi antara dua kementerian berbeda bisa menjadi tantangan besar, mengingat masing-masing kementerian memiliki agenda dan prioritas yang mungkin tidak sejalan.
Dampak lanjutannya, terjadi keterlambatan implementasi program-program penting yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan pengelolaan hutan.
Adapun biaya terkait dengan birokrasi ini—baik dalam bentuk waktu maupun sumber daya finansial—dapat mengalihkan perhatian dari program-program yang lebih penting dan mendesak.
Hilman juga khawatir KH akan lebih condong kepada aspek ekonomi, hingga mengabaikan isu-isu lingkungan yang kritis. Misal, dalam upaya meningkatkan produktivitas hutan, ada kemungkinan KH lebih banyak memberikan izin untuk konversi hutan. “Tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap perubahan iklim dan kerusakan habitat.”
Kondisi itu, katanya, jangka panjang bisa menyebabkan kerugian besar bagi keanekaragaman hayati dan memengaruhi kualitas hidup masyarakat yang bergantung pada alam itu.
Untuk itu, proses pemisahan harus berdasarkan kajian, bukan hanya hasrat politik membagi atau memberikan kekuasaan pada kelompok tertentu.
“Jika demikian, lagi-lagi, kita hanya disuguhkan pada keruwetan birokrasi tanpa dampak positif dalam penyelamatan hutan alam dan lingkungan yang hari ini dalam ancaman.”
Idealnya, kata Hilman, KH tidak hanya berkutat pada persoalan perizinan, karena ada tugas-tugas konservasi dan perlindungan hutan yang harus dilaksanakan. Penyelamatan hutan, harus menjadi paradigma KH juga.
Persoalan ekonomi tidak boleh lagi bertolak belakang terhadap keberlanjutan lingkungan. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen mewujudkan ekonomi hijau (green economy).
“Jika persoalan kehutanan hanya dibatasi sekadar pemberian izin eksploitasi atas nama pertumbuhan ekonomi, kehancuran hutan yang berkontribusi pada perubahan iklim akan menjadi sebuah keniscayaan,” katanya.
Urus iklim dan tata ruang
Salah satu kekhawatiran kalau KLH berdiri sendiri ialah lemahnya kekuatan untuk perlindungan lingkungan hidup dan perubahan iklim. Padahal, dua isu yang identik dengan masalah lingkungan hidup ini bisa terjadi dan melibatkan sektor lain.
Untuk itu, sekalipun bukan kementerian setingkat dengan kementerian koordinator, maka perlu penguatan berupa tambahan kewenangan. Salah satunya, dengan memastikan KLH mengurus isu perubahan iklim dan tata ruang.
Terkait tata ruang, Dodo menyebut sektor ini tidak lepas dari kepentingan lingkungan. “Karena tata ruang juga bersifat koordinatif, itu bersifat lebih umum, bukan sektor. Semua kegiatan butuh instrumen tata ruang, sama seperti fungsi lingkungan.”
Lingkungan dan tata ruang, katanya, memiliki dua instrumen mengikat sektor lain. Di tata ruang ada, Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), sementara sektor lingkungan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Kedua instrumen ini, penting untuk pembangunan di tingkat nasional, daerah, hingga kabupaten/kota. “Artinya, perlu fungsi koordinatif untuk payungi itu semua. Maka akan lebih bagus kalau Tata Ruang dan Lingkungan jadi satu kementerian,” kata Dodo.
Selain itu, urusan perubahan iklim juga harus disematkan di KLH..
Pemerintahan Prabowo-Gibran, kata Dodo, harus berani tegas menyebut membentuk nomenklatur kementerian berikutnya sebagai Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim. “Biar kita tahu national focal point-nya ada di mana,” kata Dodo.
Senada, Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyebut perlu, jadikan KLH dan Iklim sebagai payung atau kementerian koordinator. Bentuk ini bisa jadi penguatan atas dampak yang selama ini diterima lingkungan hidup dan iklim karena kebijakan berbagai sektor, mulai dari ekonomi, perkebunan dan pertambangan dan lain-lain.
Jadi, penempatan LHK dan Iklim sebagai kementerian payung, pada gilirannya, akan membuat dua sektor ini jadi rujukan utama dalam kebijakan pembangunan. “Contoh, sebelum ATR/BPN mengeluarkan izin perkebunan, maka Lingkungan Hidup sebagai mitigasi harus diutamakan,” katanya. “Karena dampak lingkungan hidup ini melampaui sektor-sektor lain.”
Meski demikian, upaya memperkuat kapasitas KLH dan Iklim perlu diikuti perangkat-perangkat yang kompeten, serta punya perspektif keadilan lingkungan dan iklim. Tanpa itu, katanya, akan sulit mengarusutamakan pandangan pada kementerian-kementerian lain.
Selain itu, perlu ada koreksi kebijakan saat ini seperti, solusi palsu seperti co-firing biomassa yang terdapat di Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan maupun skema perdagangan karbon dalam Peraturan Presiden Nomor 98/2021.
“Dari struktur kementerian harus mengikuti pada apa yang hendak dicapai. Orang-orangnya harus dipastikan punya perspektif (lingkungan dan iklim). Dari kemauan politik ini, lanjut ke aksi-aksi perbaikan kebijakan.”
Sisi lain, penempatan di bawah kementerian tertentu disebut membuat KLH akan menghadapi kendala sektoral.
Dia menilai, dari pengalaman yang sudah-sudah, terdapat ego-sektoral atau upaya menolak dominasi di antara kementerian.
Uli contohkan, dalam konteks reklamasi lahan bekas tambang, jika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ingin memanfaatkan wilayah itu untuk kepentingan lain, KLH tidak bisa intervensi terlalu jauh.
Pun demikian dengan sektor perkebunan dan lingkungan. Aspek lingkungan, kata Uli, seakan hanya jadi tanggung jawab KLH.
“Seolah-olah ATR/BPN tidak mau urus dampak lingkungan, seolah-olah penegakkan hukum di sektor kehutanan hanya jadi bagian dari sektor lingkungan.”
Kalau jadi kementerian sendiri bukan kementerian payung atau koordinator, cukup sulit.
Begitu juga wacana penggabungan KH dan Agraria dan Tata Ruang, kata Uli, berpeluang memperbaiki sinkronisasi. Terutama, sebagai upaya menyelaraskan kebijakan planologi dengan kehutanan, serta perizinan di sektor kehutanan dan perkebunan.
Soalnya, selain ego-sektoral, marak sertifikat tanah dalam kawasan hutan disebut sebagai dampak dari pemisahan dua sektor itu.
“Pengalaman Walhi, sering sekali ATR/BPN tidak mau berurusan dengan kehutanan, begitu juga kehutanan dengan sektor agraria. Atau paling banyak ditemukan ada sertifikat di kawasan hutan. Kalau (kehutanan dan agraria) dilebur jadi satu, mungkin ego sektoral bisa mencair dan menghasilkan kebijakan yang sinkron,” kata Uli.
Makin berisiko, tak sekadar bagi ‘jatah’
Linda melihat dua sisi KH gabung dengan ATR/BPN. Ada harapan, penggabungan itu bisa membuat agenda reforma agraria berjalan lebih cepat karena pengelolaan lahan hutan dan tata ruang lebih terintegrasi.
Namun, Linda juga tak mau menafikan kekhawatiran terhadap gagasan itu. Meskipun itu bisa berdampak baik terhadap agenda reforma agraria, tetapi penggabungan dapat mempermudah ekspansi lahan melalui perubahan status kawasan hutan, yang berisiko mempercepat laju deforestasi.
“Pengelolaan lahan yang tidak berhati-hati bisa berujung pada hilangnya kawasan hutan yang seharusnya dilindungi, hingga merusak ekosistem dan mengancam keberlanjutan lingkungan,” kata Linda.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, pemisahan dan penggabungan kementerian ini perlu melihat dampak kepada pengurangan deforestasi signifikan, atau justru sebaliknya.
Jangan sampai, katanya, gagasan itu hanya untuk mempolitisasi sumber daya alam.
“Penggabungan dan pemisahan lembaga ini jangan sampai bukan bicara soal teknis untuk perlindungan hutan, justru mempermudah eksploitasi sumber daya alam Indonesia. Ini yang harus dikhawatirkan,” kata Anggi.
Dia menyoroti wacana penggabungan KH dengan ATR/BPN. Menurut dia, kedua kementerian sangat arogan dan memiliki catatan buruk soal keterbukaan informasi publik. FWI beberapa kali menggugat dua kementerian itu.
Penggabungan dua kementerian ini hanya akan melindungi kepentingan-kepentingan korporasi saja. Contoh, terkait tumpang tindih antara hak guna usaha (HGU) dan kawasan hutan bisa selesai di meja kementerian itu sendiri. Selain itu, katanya, kementerian itu memiliki kepentingan untuk menutup informasi data HGU dan rencana kerja perusahaan.
“Penggabungan dua kementerian ini membuat mereka kuat dengan ketertutupan mereka. Dengan begitu, bisa jadi kasus pelepasan kawasan hutan itu selesai di antara mereka, dan publik tidak bisa melakukan pengawasan,” katanya.
Untuk itu, KLH harus menjadi kementerian koordinator karena bisa masuk ke dalam sektoral-sektoral hampir semua kementerian. Misal, perusahaan yang mendapat izin usaha perkebunan dari KATR/BPN harus tunduk dengan kaidah-kaidah lingkungan KLH.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menilai, sudah ada kerja baik dalam nomenklatur KLHK. Karena itu, kalau ada pemisahan kementerian di rezim Prabowo-Gibran, harusnya tidak sekadar ajang bag-bagi jatah kekuasaan.
“Jangan hanya jadi ajang untuk bagi-bagi kursi dan kekuasaan. Akhirnya semua dipretelin hanya untuk layani itu,” katanya.
Dia berharap, pemerintah akan bekerja dengan efektif dan terampil. Memperbanyak kementerian lewat pemisahan kementerian-kementerian lama tanpa kajian serius akan memerlukan sumber daya lebih besar hingga tidak berjalan efektif.
“Kami akan terus pantau supaya kerja-kerja pemerintah ke depan akan lebih baik dan efektif.”(***)
______