Eksperimen Budidaya Kepiting Bakau, Inovasi & Solusi Nelayan Batam dari Kerusakan di Pesisir

Batam, pejalan.or.id – Kotak-kotak hitam tersusun rapi di sebuah bangunan seluas setengah lapangan takraw di pekarangan rumah Arjuna, warga pesisir Kelembak, Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepri. Setiap kotak terhubung oleh pipa air lengkap dengan sistem filterasi yang dirancangnya sendiri.

Masing-masing kotak sudah dimodifikasi memiliki pintu kecil, lengkap dengan engsel dan penguncinya. Bisa dibilang seperti kandang binatang pada umumnya. Di ujung kotak juga tertulis angka, ada juga tanggal dan bulan. Juga terpasang CCTV dalam ruangan yang mengarah ke susunan kotak-kotak tersebut.

Arjuna, seorang warga pesisir Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau berhasil membudidayakan kepiting bakau secara mandiri dengan recirculating aqua kultur (RAS)



Sejatinya, kotak-kotak ini adalah rumah baru bagi kepiting bangkang atau ketam bakau, begitu orang Melayu sering menyebut kepiting bakau (Scylla serrata). Satu kotak hitam ini terdapat satu ekor kepiting bakau.

“Tanggal yang ditulis di setiap kotak, penanda waktu kepiting berganti kulit. Biasanya dari dia anakan sampai ke dewasa, dua kali ganti kulit, setelah itu baru dipanen,” kata Arjuna (44 tahun), pembudidaya kepiting bakau yang ditemui Sabtu siang, (10/8/2024).

Rusaknya laut yang berdampak kepada hilangnya biota laut di pesisir, menjadi alasan Arjuna membudidayakan ketam bakau atau kepiting bangkang.



Tanpa bimbingan pemerintah, Arjuna menyebut eksperimen budi daya kepiting bakau dengan recirculating aqua kultur (RAS) bakau ini terbilang berhasil. Upaya ini tidak semata-mata untuk bisnis belaka, tetapi menjadi upaya dirinya menyelamatkan ekosistem biota laut –salah satunya kepiting bakau– dari ancaman kerusakan lingkungan.

“Bayangkanlah bagaimana kondisi biota bawah laut di pesisir ini, air keruh dan berlumpur, kalau misalnya kepiting, udang, ataupun ikan bisa minta tolong, mereka sudah berteriak,” kata Arjuna menunjukan lokasi pesisir laut kampung Kelembak yang berubah warna jadi coklat susu ketika hujan turun.

Arjuna berharap pemerintah membantu eksperimennya budi daya kepiting bakaunya yang hanya satu-satunya di Kota tersebut, agar berhasil dan bisa dibagikan kepada nelayan yang ruang hidupnya terancam akibat kerusakan lingkungan.

Arjuna pemilik budidaya kepiting bakau pertama di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra

Hal itu disebabkan air hujan yang datang dari darat Pulau Batam membawa tanah atau lumpur bekas pematangan lahan untuk pembangunan. Termasuk pembangunan untuk kawasan industri.

Lebih parah lagi, lumpur terkadang bercampur limbah domestik yang berasal dari rumah-rumah yang ada di pesisir kampung. “Limbah ini lebih berbahaya. Kalau sampah plastik kita bisa pilih, tetapi kalau sudah limbah berbentuk cair bagaimana cara membersihkannya,” kata Ayah, panggilan akrab orang kampung setempat ke Arjuna.

Apalagi hutan mangrove yang berfungsi menyaring limbah agar tidak masuk ke laut juga mulai habis di pesisir Kampung Kelembak. Mangrove hilang karena ditimbun untuk pembangunan, atau ditebang untuk dijadikan arang bakau.

Kondisi itu tentu berdampak kepada mata pencaharian nelayan pesisir kampung tua Kelembak, baik nelayan budi daya atau nelayan tangkap. “7 tahun yang lalu, nelayan cari kepiting bisa dapat 10 kilogram di dekat sini saja. Sekarang sudah susah. Bahkan nelayan bisa tidak bawa hasil pulang,” katanya.

Rusaknya lingkungan tentu mengancam keberadaan ekosistem laut, serta profesi nelayan itu sendiri. Sekarang nelayan masih melaut karena keinginan melanjutkan tradisi orang tua mereka.

Seharusnya, katanya, pemerintah harus bersikap adil antara rencana pembangunan dan kesejahteraan nelayan. “Ini malahan kita ditawari menjadi pengrajin batik, padahal kita orang laut,” katanya menyebutkan program pemerintah tidak tepat sasaran.

Kondisi itu yang membuat Arjuna membangun budidaya daya kepiting bakau. Ia berusaha menciptakan rumah baru untuk kepiting bakau, ditengah watak pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan.

Dia memilih budi daya kepiting bakau karena daya tahannya lebih kuat dan harganya kompetitif. “Pasarnya juga terbuka, tidak hanya dijual di lokal tetapi (nantinya) juga bisa dijual ke Singapura atau China,” katanya.

Berbeda dengan kepiting rajungan yang lebih sensitif. “Apalagi rajungan itu masa panen sama, tetapi harga lebih murah, sehingga tidak kompetitif,” katanya.

Kedepan, ia akan mengembangkan jenis budi daya lainnya. Apalagi melihat terancamnya biota laut ini akibat pembangunan yang merusak laut di Kota Batam.

Salah seorang nelayan berdiri di atas kapal dengan latar laut yang sudah keruh ketika hujan lebat melanda di Kampung Kelembak, Nongsa, Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra

Eksperimen Mandiri

Arjuna memulai budidaya kepiting bakau ini tiga tahun lalu sebagai bentuk rekayasa alam. Ia memindahkan tempat hidup kepiting bakau yang biasa berada di pesisir dekat rumahnya ke darat.

Kepiting yang dibudidayakan ukuran dari 200 ons, setelah itu dibesarkan sampai layak dijual atau dilepas kembali, sekitar beratnya 500 ons. Dari awal sampai masa panen itu kita butuh waktu 2 bulan 10 hari.

“Kalau sudah besar, potensi hidupnya tentu lebih besar, kalau sekarang, baru bertelur saja sudah mati karena limbah,” katanya.

Awalnya budidaya dilakukan langsung di laut, tetapi akibat air laut tercemar, budidaya tidak berhasil, akhirnya kepiting bakau mati.

Setelah itu ia memindahkan budaya di darat. Menggunakan ember-ember hitam ukuran sedang tersebut. Lengkap dengan sistem filterisasi air yang cocok untuk kehidupan kepiting.

Metode budidaya kepiting bakau ini, katanya, sudah lama berkembang, terutama negara Thailand. Tetapi entah kenapa metode ini tidak pernah dikenalkan kepada nelayan selain bantuan alat tangkap.

“Padahal ini bisa menjanjikan untuk nelayan, artinya kehidupan nelayannya tidak berubah, hanya saja metode yang lebih modern,” katanya.

Setelah tiga tahun membangun budidaya ini, ia bisa panen 10 kilogram untuk dua kali dalam satu bulan. Saat ini harga kepiting bakau berkisar Rp180.000 sampai Rp300.000 per kilogram tergantung ukuran kepiting. Setidaknya dalam sebulan Arjuna bisa menghasilkan Rp5.000.000/bulan dengan penjualan Rp250.000/kg untuk kepiting ukuran 4 ons.

“Hasil penjualan kita jadikan modal untuk melengkapi alat-alat dan membeli pakan, budidaya ini masih skala kecil, jadi belum bisa disebut bisnis, masih sebatas eksperimen,” katanya.

Di lokasi budidaya kepiting bakau Arjuna, juga terdapat tempat proses perkawinan kepiting bakau. Saat ini sedang dalam tahap meperkenalkan kepiting jantan dan betina. Harapannya ia bisa mengembangbiakan sendiri bibit kepiting bakau. “Kalau sekarang kita masih menampung anak kepiting bakau hasil tangkapan nelayan,” katanya.

Arjuna menyadari budidaya ini akan meningkatkan penangkapan kepiting ukuran kecil oleh nelayan. Namun menurutnya lebih parah lagi jika dibiarkan anakan kepiting hidup di laut sedangkan potensi hidupnya kecil akibat laut yang rusak. “Kalau sekarang, potensi hidup kepiting bakau yang kita budidayakan sudah cukup tinggi, sekitar 80-90 persen,” katanya.

Salah seorang pekerja menunjukan kepiting bakau hasil budi daya di darat di Kampung Kelambak, Nongsa Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra

Saat ini modal awal proses budidaya kepiting ini kata Arjuna, sudah menghabiskan biaya Rp100 juta lebih. Hasil penjualan selama ini cukup menutupi operasional ekperimennya tersebut tentu juga membiaya hidup keluarganya.

“Kita berharap Dinas Perikanan melirik ini, untuk bisa bekerjasama, terutama menghadirkan ahli perikanan, agar hasilnya lebih maksimal dan nanti akan ilmunya akan dibagikan kepada nelayan lainnya,” kata Arjuna. Dinas Perikanan Batam sudah datang ke tempat budidaya miliknya.

Pasokan Kepiting Berkurang

Kepala Dinas Perikanan Kota Batam Yudi Admajianto mengakui saat ini kondisi kepiting bakau di pesisir Pulau Batam berkurang drastis. Bahkan beberapa kepiting bakau yang dikonsumsi di Batam dipasok dari daerah lain seperti Kabupaten Lingga, Tanjung Balai Karimun.

“Sebenarnya tidak hanya kepiting bakau, tetapi juga seluruh perikanan di perairan Batam juga sudah berkurang, bahkan pemasoknya juga berasal dari Kalimatan dan daerah Sumatera,” katanya.

Dinas Perikanan Kota Batam belum memiliki jumlah produksi kepiting bakau baik tangkap maupun budi daya. Namun, dirinya melihat kepiting bakau jelas berkurang karena hutan mangrove sebagai habitatnya sudah hilang.

Sehingga budi daya kepiting bakau seperti yang dilakukan Arjuna menjadi solusi melestarikan kepiting bakau di Batam. “Kita berharap ini berhasil, tentunya ini menjadi pilot project agar bisa dikembangkan untuk nelayan lainnya,” ujar mantan Camat Belakang Padang itu.

Setelah berkunjung ke tempat budi daya perikanan Arjuna, Yudi mengatakan pihaknya akan membantu pembinaan penyuluhan perikanan, salah satunya mendatangkan ahli perikanan untuk membantu eksperimen Arjuna.

Dinas Perikanan juga akan membantu persoalan bibit, pakan, dan pemasaran. “Untuk saat ini kita belum ada anggaran untuk budidaya kepiting di darat. Tahun depan akan kita ajukan tentunya, agar budidaya kepiting bakau ini semakin berkembang,” pungkasnya.

Dikutip dari websitenya, Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Muhammadiyah Kotabumi, Lampung menyebut teknologi budi daya kepiting bakau dengan vertical crab house makin berkembang di Indonesia. Tidak hanya berkembang, budidaya ini tergolong banyak berhasil di beberapa daerah.

Salah satu kunci penting dalam membangun budidaya kepiting bakau dengan sistem apartemen adalah sirkulasi air dan proses pemeliharaan. Senada dengan yang disampaikan Arjuna, dalam artikel ini juga disebutkan budidaya ini bisa digunakan untuk menghadapi ancaman kepunahan kepiting bakau di laut. (***)

Editor : pejalan.or.id

Share |

Artikel Terkait