Hadapi Marak Eksploitasi Air, PBNU Minta Media Gencarkan Edukasi Krisis Ekologis

Tanjungpinang, pejalan.or.id – Bencana alam mengintai setiap suatu sumber daya tidak dikelola dengan benar. Salah satu sumber daya tersebut adalah air tanah yang menjadi konsumsi utama manusia.


Melalui keterangan resmi PBNU yang dilansir dari detikEdu, Minggu (1/9/2024), data menunjukkan bahwa penggunaan air tanah dilakukan secara berlebihan. Eksploitasi ini menyebabkan penurunan tanah dan memunculkan serangkaian bencana ekologis.

Eksploitasi air tanah juga muncul saat sejumlah pihak membangun komplek-komplek perumahan. Ribuan unit rumah yang terbangun diikuti oleh penggalian sumur untuk mendapatkan air tanah. Jika dalam satu komplek terdapat 10.000 unit rumah, maka akan tergali sumur bor sebanyak 10.000 sumur.

Persoalan ini mendapat perhatian Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi dan Publikasi (LTN) PBNU, Ishaq Zubaedi Raqib. Menurutnya, media perlu menggencarkan edukasi dan pemahaman secara intensif kepada masyarakat terkait bencana yang dapat ditimbulkan akibat eksploitasi air tanah.

“Kita perlu terus disadarkan agar tidak terlalu mengandalkan air tanah. Namun, masyarakat juga perlu segera dicarikan solusi agar muncul kesadaran, antara lewat penetrasi media,” ujar Ishaq Zubaedi Raqib, Minggu (1/9/2024).

Illustrasi Krisis Air Disebagian Daerah (Illustrasi_globalwarming)

Ia menekankan agar media tidak bosan-bosan setiap saat mengedukasi dengan berbagai bentuk publikasi, baik grafis, tulisan, maupun video terkait krisis ekologis yang disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebihan dan tidak diperkenankan oleh undang-undang.

“Bagi media-media, penting memberi pemahaman secara terukur, terpola dan masif kepada publik,” tegasnya.

Ia melanjutkan penting untuk membangun kesadaran lewat pintu agama, misal pendekatan hukum fiqih. Sehingga hal ini bisa jadi panduan bagi tokoh-tokoh agama dalam memberi pemahaman terkait krisis lingkungan, yang bisa jadi problem dalam beribadah.

“Dalam komplek perumahan, ketika air dari sumur berdekatan dengan septiktank, itu potensial mengundang bakteri negatif seperti Escherichia coli atau E. coli. Bakteri ini potensial mengubah status air yang awalnya air mutlak (suci dan menyucikan), bisa tidak mutlak lagi. Sifatnya suci saja, tetapi tidak menyucikan, karena perubahan warna, rasa, dan bau,” jelasnya.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan masyarakat terkait korelasi dampak buruk pengambilan air tanah berlebihan bagi lingkungan, karena dapat memicu penurunan tanah atau land subsidence.

Menurut data BRIN, kenaikan muka air laut yang akibat dampak perubahan iklim, terjadi sekitar 3-10 milimeter per tahun. Fenomena tersebut juga membuat bangunan menjadi miring sehingga merugikan secara ekonomi./(***)

Editor : pejalan.or.id

Share |

Artikel Terkait