Minahasa Selatan, pejalan.or.id – Norbet Sihuwang, kini kerap kebingungan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia terpaksa bergantung pada belas kasihan orang lain saat menanam di sepetak lahan kecil yang dia garap. Norbet pun harus rela berbagi hasil kebun ke para oknum yang mengatasnamakan perusahaan.
Pria berusia 65 tahun ini tinggal di Desa Blongko, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Meski asli sana, sekarang merasa terasing. Apalagi lahan yang biasa ditanami sejak puluhan tahun lalu, berada dalam eks konsesi HGU.
“Pindah-pindah berkebun. Hasilnya berkurang. Boleh [berkebun], tapi berpindah-pindah, lalu harus bagi hasil 10% ke pemilik perusahaan. Harus dikasih, kalau tidak dikasih, [mereka] marah,” katanya.
Hanya keterampilan mengolah lahan itu yang Norbet miliki. Sejak kecil, dia ikut berkebun orangtuanya. Dia tanam cengkih, kelapa, pala, dan berbagai hortikultura.
“Saya dilahirkan di sini tahun 1959. Pas saya lahir di sini belum ramai. Masih sedikit orang.”
Norbet sebut, dulu pernah bekerja sebagai buruh perusahaan, membantu mandor panen kelapa setiap tiga bulan sekali. Selebihnya, Norbet berkebun dan mencari ikan di laut. Setelah menua, dia tidak sanggup lagi melaut. Dia memilih berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejak mendengar bahwa izin gak guna usaha (HGU) kebun kelapa PT Blongko sudah selesai, dia dan istri membangun pondok sederhana di lokasi eks HGU. Sejak 2014 mereka memutuskan pindah ke sini setelah rumah kecilnya yang berukuran 8×10 m tidak lagi mampu menampung tiga keluarga. Dua anaknya sudah berkeluarga dan turut menempati rumah itu.
“[Meski pernah] diusir, diancam. Tapi torang (kami) lawan. Tetap tanam dan tinggal di sini,” ujarnya. “Mau cari makan di mana lagi?” katanya.
Norbet tidak sendiri, ada beberapa orang lain yang juga bermukim dan menanam di areal bekas HGU. Susan Mongkol, salah satunya.
Susan bercerita, tiga turunan keluarganya berkebun di lokasi itu. Kakeknya mengelola lahan sejak 1960-an.
“Orang tua saya ikut tanam kelapa di areal ini. Tapi kami tetap terus jadi buruh, tidak punya rumah dan kebun,” katanya.
Dia sebut, mayoritas warga Desa Blongko mencari hidup dari kerja menjadi buruh kelapa, petani, dan nelayan.
Meski berada di pinggir jalan lintas Trans Sulawesi, Desa Blongko tidak dilintasi sinyal internet dan telepon. Untuk sekadar memperoleh sinyal, mereka harus mencari pojok-pojok sempit yang terjangkau teknologi ini.
Tak hanya tak punya tanah untuk berkebun atau bertani, untuk rumah tinggal saja sulit. Satu rumah kerap dihuni beberapa keluarga. Mereka miskin.
- Petani di Desa Blongko, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, hidup serba kekurangan. Petani punya lahan garapan di lokasi eks hak guna usaha (HGU), dengan harus rela berbagi hasil kebun ke para oknum yang mengatasnamakan perusahaan.
Warga Blongko, terutama para perempuannya, berupaya memutus rantai kemiskinan. Esterlita, perempuan pejuang agraria Blongko, bersama perempuan lain membulatkan tekad ikut dalam organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-hak petani. Mereka di Organisasi Tani Lokal (OTL) Desa Blongko I dan II mengupayakan pemetaan partisipatif. Tujuannya, membuat peta redistribusi tanah eks HGU. Mereka memprioritaskan tanah pemukiman dan fasilitas umum serta wilayah kebun.
Bagi orang Blongko, meski amat terbatas, lahan adalah sumberdaya sangat berharga. Itu dirasakan pula oleh Naomi Marapil. Bagi perempuan 60 tahun ini, lahan adalah sumber kehidupan sekaligus harapan.
“Bagaimana kami mau menanam bila tidak ada tanah. [Meski cuma sepetak] itu sumber kehidupan kami.”
Bagi para petani kecil, tinggal di bekas HGU PT Blongko penuh suka duka. Mereka menggantungkan hidup dari berbagai sayuran hortikultura. Sayur mayur mereka bisa sewaktu-waktu rusak tertimpa buah kelapa yang jatuh.
Bahkan, pernah kendaraan pengangkut buah kelapa, menghancurkan kebun-kebun sayur mereka yang sudah siap panen. Hal itu memicu amarah para petani.
Norbet pernah mengancam mandor dan buruh pengangkut dengan cangkul karena kendaraan mereka merusak kebun sayur siap panennya. Luas kebun hanya 200 m2.
“Semenjak itu mereka tidak pernah angkut kelapa langsung, tapi dengan dorongan manual ke truk pengangkut,”katanya.
Kebun sayur adalah cara warga memperoleh pendapatan. Hasil sayuran mereka jual ke pasar, seperti dilakukan Fince Makagansa.
Fince biasa berjualan ke pasar di Kecamatan Amurang -berjarak sekitar 90 km dari Desa Blongko. Dia menjual poki-poki (terong), daun kemangi, timun, melon, pisang dan suwanggi (lemon).
Biasanya perempuan 60 tahun ini berangkat subuh dan pulang menjelang sore. Penghasilannya tidak menentu, paling besar Rp300.000 per minggu.
“Kebun ini penting [buat kami], dari sana kami dapat uang untuk kebutuhan sehari-hari.”
Desa Blongko, yang mereka tinggali saat ini, ditempati empat etnik, yaitu Sangihe, Minahasa, Mongondow, dan Gorontalo. Rata-rata mereka datang ke tempat ini dulu untuk merantau dan bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa.
Potret kemiskinan di Desa Blongko
Siang selalu lebih cepat di Desa Blongko. Pukul 8.00 pagi, matahari sudah terik memenuhi ruang-ruang dapur Marlina. Dia sedang menggoreng tuna dan meracik sambal dabo-dabo.
Marlina baru saja usai memandikan dan memberi susu anaknya ,Vinni, usia lima tahun. Marlina beruntung, bisa punya rumah sendiri hingga tidak harus berbagi dapur dengan ipar dan mertua.
Meski demikian, dia harus merelakan suaminya bekerja sebagai buruh angkut kelapa di desa tetangga. Selama seminggu hingga dua minggu, suami bisa tidak pulang ke rumah. Kalau pulang pun biasa hanya ambil ransum makanan lalu pergi lagi. Itu terjadi saat panen kelapa setiap 2-3 bulan sekali.
Di Minahasa Selatan, ada dua perusahaan kelapa besar. Perusahaan Sasa yang mengolah santan dan bubuk kelapa, biasa perlu kelapa yang panen setiap 2,5 bulan. Kelapa kopra untuk minyak kelapa akan panen setiap tiga bulan.
Sedang ada satu perusahaan minyak kelapa lain yang mengekspor minyak mentah ke Singapura dan Malaysia. Sementara itu, ibu-ibu di Blongko membeli minyak curah di warung.
“Suami saya berpindah dari kebun satu ke kebun yang lain, memanen dan mengangkut kelapa. Risiko besar, tapi rata-rata memang orang sini kerja jadi buruh kelapa,” katanya.
Meski berada di pinggir jalan lintas Trans Sulawesi, Desa Blongko tidak dilintasi sinyal internet dan telepon. Untuk sekadar memperoleh sinyal, mereka harus mencari pojok-pojok sempit yang terjangkau teknologi ini.
Rumah-rumah di Blongko rata-rata terbuat dari kayu dan batako, berlantai tanah dan semen dengan atap seng sederhana. Hanya satu dua rumah terlihat mewah.
Untuk menghidupi keluarga, Marlina coba mencari tambahan uang saku. Caranya, menjadi penagih arisan, -semacam usaha simpan pinjam desa. Ini terkadang dilakukannya, hingga larut malam. Kerap dia menitipkan anaknya ke rumah mertua, jika masih berkeliling dari satu rumah ke rumah lain.
Marlina menyebut, cukup beruntung jika dibandingkan dengan ratusan perempuan di Desa Blongko. Setidaknya, dia mampu membangun rumah sendiri.
Hal berbeda dialami Esterlita. Perempuan pejuang agraria ini tinggal bersama tiga saudara suami dan mertua dalam satu rumah. Dia memiliki anak, yang menguatkan dia. Ester tidak mau anak-anaknya hidup susah dan bergantung hidup tanpa masa depan, tanpa rumah dan tanpa lahan. Keluarga mereka tergantung hidup menjadi buruh kebun kelapa.
“Rantai kemiskinan ini harus diputus, kita tidak boleh terus menjadi buruh, menonton orang-orang berduit itu memperbudak kita.”
Itu yang membulatkan tekad Ester ikut dalam organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-hak petani. Ester dan para perempuan bertekad mengubah nasib.
Ester dan teman-teman di Organisasi Tani Lokal (OTL) Desa Blongko I dan II mengupayakan pemetaan partisipatif. Tujuannya, membuat peta redistribusi tanah eks HGU. Mereka memprioritaskan tanah pemukiman dan fasilitas umum serta wilayah kebun.
“Saya biasa mendatangi petani-petani anggota yang semangatnya sedang turun. Mereka yang jarang datang ke pertemuan organisasi. Kita menjadi pendengar, mengetahui permasalahan yang mereka hadapi.”
Baginya, cara mengubah nasib tidak bisa digantungkan kepada orang lain. Mereka harus memperjuangkan nasib sendiri. Setidaknya ke depan, mereka mampu mandiri.
“Kebun ini menjadi penting agar petani berdaulat. Bukan hanya menjadi buruh tani yang selama ini dilakukan secara turun menurun.”
*******
Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).