Kisah Gila Ato, Tanam Ratusan Ribu Mangrove Demi Populasi Kepiting di Lingkungannya Meningkat

Ato, nelayan kepiting di Desa Ambelang, Kecamatan Tinankung, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah sendirian telah menanam ratusan ribu bibit mangrove di desanya hingga dianggap ‘gila’. Kini produksi kepiting di desanya melimpah kembali seiring membaiknya kondisi mangrove. Foto: Wahyu Chandra

Banggai, pejalan.or.id – Mata Ato berkaca-kaca. Ia segera menyeka wajahnya agar tak terlihat butiran air yang tak terbendung mengalir di sana. Masa-masa sulit telah ia lalui. Perkumpulan Salanggar yang tiga tahun terakhir menemani, memotivasi dan bahkan support pembiayaan, akan menutup programnya akhir tahun 2024 ini.

“Kalau bisa mereka tetap di sini, atau bagaimana supaya pemerintah lanjut menemani dan membantu kami menjaga mangrove di sini,” katanya. Saya berjumpa Ato dalam kegiatan penanaman mangrove yang digagas Burung Indonesia dan Dinas Pariwisata Banggai Kepulauan, menanam bersama para finalis Putri Pariwisata Kabupaten Banggai Kepulauan 2024, di kampung mangrove Ambelang.

Ato adalah nelayan kepiting di Desa Ambelang, Kecamatan Tinangkung, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Selama 17 tahun lelaki kelahiran 1980 ini berjuang sendiri menghijaukan kembali pesisir desanya dengan menaman mangrove setiap hari. Tak terhitung berapa bibit mangrove yang telah ia tanam. Diperkirakan sudah ratusan ribu. Begitu masif dan intensnya ia menanam mangrove sampai-sampai pernah ditegur oleh istri sendiri karena dianggap gila oleh tetangga.

Matua (istri) pernah tegur, kamu itu sudah gila kah, setiap hari menanam mangrove tanpa ada yang memperhatikan,” ungkapnya.

Menurut Ato, motivasi awal ia mau menanam mangrove adalah melihat kondisi di mana kepiting di desanya semakin hari semakin menurun. Dulu, ketika kondisi mangrove masih bagus, ia bisa mendapat kepiting hingga 7 kg per/hari, namun kemudian semakin menurun hanya bisa 3 kg dan bahkan di bawahnya lagi, akibat hilangnya mangrove akibat masifnya penebangan mangrove dilakukan warga.

“Mangrove adalah rumah bagi kepiting-kepiting, sehingga ketika habitatnya hancur karena ditebang, maka tak ada lagi kepiting yang bisa ditangkap.”

Mereka pun harus melaut ke tempat yang jauh, hingga ke Taliabu, Maluku Utara, atau sekitar Pulau Peling Banggai Kepulauan dan sekeliling Banggai Laut dan pulau-pulau kecil sekitarnya, yang membutuhkan energi dan BBM yang tak sedikit.

Penebangan mangrove memang cukup masif ketika itu dan bahkan dilakukan secara terang-terangan. Ato mengingat dengan jelas hampir setiap orang menjual kayu mangrove di depan rumah masing-masing.

“Itu biasa banyak kalau bulan puasa, setiap rumah jejer bakau di depan rumah untuk dijual. Harganya Rp100 ribu per meter kubik. Mungkin sekitar 90 persen warga yang melakukan itu,” kenangnya

Pada tahun 2007 ia mulai berinisiatif melakukan penanaman. Setiap hari ketika keluar melaut ia pasti akan menanam ratusan dan bahkan ribuan bibit mangrove. Di awal-awal, ia menanam secara sembarangan saja, begitu melihat lokasi kosong langsung ditanami sehingga ketika tumbuh terlihat tumbuhnya secara alami sehingga orang tak peduli, terus saja menebang. Belakangan ia mengubah strategi dengan melakukan penanaman secara rapi, dan ternyata cukup efektif, sehingga orang akan enggan untuk menebanginya karena disangka ada pemilik.

Butuh waktu hampir dua dekade untuk mengetuk hati warga lain untuk peduli. Upaya ini kemudian terbantu dengan kehadiran Perkumpulan Salanggar yang bermitra dengan Burung Indonesia menyelenggarakan program rehabilitasi mangrove.

Kehadiran Salanggar membuat Ato semakin termotivasi untuk terus menanam. Bahkan pada bulan puasa 2024 lalu, selama sebulan Ato menanam sekitar 10 ribu bibit mangrove tanpa bantuan orang lain.

Dedikasi Ato untuk rehabilitasi mangrove pun berbuah hasil. Seiring membaiknya kondisi mangrove dalam dua tahun terakhir, kepiting mulai melimpah kembali.

“Kalau sekarang kondisinya mulai membaik, hasil tangkapan kepiting mulai melimpah lagi. Bisa sampai 7 kg per hari, apalagi kalau sedang ada air pasang yang membuat kepiting terangkat naik.”

Harga kepiting juga sedang bagus-bagusnya. Kepiting ukuran super, ukuran di atas 1 kg dijual dengan harga 300 ribu/kg. Sebulan bisa dapat 10 ekor. Kalau ukuran size atau ukuran 700-900 gram dijual Rp200 ribu/kg, sementara ukuran 500-600 gram dijual dengan harga 110 ribu/kg.

Selain sukses secara ekonomi berkat keberhasilan rehabilitasi mangrove, Desa Ambelang juga menjadi desa proklim 2020-2022 lalu dan menjadi salah satu destinasi ekowisata pesisir di Banggai Kepulauan.

Risal Mutael, Direktur Perkumpulan Salanggar, memberi apresiasi dengan apa yang telah dilakukan Ato. Menurutnya, tanpa kehadiran Ato dan nelayan lain, program rehabilitasi mangrove di Desa Ambelang sekitarnya susah terealisasi.

Risal bercerita betapa susahnya ia mendekati warga agar menjaga mangrove di awal-awal datang ke desa itu pada tahun 2021 silam. Ia bahkan hanya bisa bersosialisasi di depan rumah warga dan hanya diikuti beberapa orang saja.

“Butuh waktu dan energi yang banyak untuk meyakinkan warga untuk terlibat dalam program yang kami tawarkan untuk kelestarian mangrove. Kami harus bolak balik sekitar 2 bulan datang kemari, dan itu pun tidak langsung semasif sekarang.”

Salanggar sendiri menunjukkan komitmennya membantu warga dengan membangun jalan tracking dan pusat pembibitan. Salanggar juga membantu pengadaan dan fasilitasi dengan pihak-pihak lain.

Salanggar juga fasilitasi pembentukan kelompok yang dinamai Lipu Akat yang berarti ‘kampung mangrove’ beranggotakan 10 orang, diketuai Ato. Seluruh anggota dan sejumlah nelayan juga difasilitasi untuk pengadaan Kusuka atau Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan, yang merupakan identitas tunggal pelaku utama kelautan dan perikanan.

Hutan mangrove di Desa Ambelang kini rimbun kembali, meski tetap saja ada tantangan berupa penebangan mangrove secara diam-diam oleh sejumlah warga, meski pemerintah desa sendiri telah melarang menebang mangrove dengan alasan apa pun. Pelakunya pun tak diketahui karena dilakukan ketika nelayan sedang melaut dan aktivitas dilakukan di tempat yang tersembunyi.

“Harus diakui mangrove ini memang masih sangat dibutuhkan masyarakat bukan hanya untuk kebutuhan kayu api, tapi juga untuk bangun rumah. Petani kopra juga menggunakan kayu mangrove untuk bikin para-para untuk pengeringan mangrove. Kayu mangrove disukai karena kuat dan menyimpan panas, sehingga kopra cepat kering,” ungkap Amiruddin, Kepada Desa Ambelang./pejalan

Editor : pejalan.or.id

Share |

Artikel Terkait