Palembang, pejalan.or.id -Nur Hasna berniat mencari ikan betok untuk anaknya di pasar tradisional Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu pagi [28/8/2024]. Tak seperti biasanya, sejumlah lapak penjual ikan di tepian Sungai Rasau itu terlihat kosong.
“Susah sekali mendapatkan ikan betok sekarang.”
Di sebuah lapak, Hasna memutuskan membeli ikan patin.
“Untuk dibuat pindang,” katanya.
Hampir semua ikan yang tersedia pagi itu kebanyakan ikan budidaya, seperti nila, patin, lele, dan gurame.
“Kami lebih senang ikan liar, seperti ikan sapil [Helostoma temminckii], ikan betok [Anabas testudineus], ikan sepatung [Pristolepisgrootii], dan lainnya. Dagingnya lebih manis dan segar, kalau ikan tambak [budidaya] kurang, kadang dominan rasa pelet,” kata Idayah, penjual ikan.
Idayah sudah puluhan tahun berjualan ikan. Menurutnya, sejak musim kemarau [Juni-Agustus] sejumlah jenis ikan tersebut, jarang dipasok dari Ogan Ilir maupun Ogan Komering Ilir [OKI].
Di lapaknya saja hanya ada ikan gabus budidaya dan satu setengah kilogram ikan sapil liar yang terjual.
“Ikan sapil ini dari lebung di sekitar babatan [Pemulutan]. Cuma sedikit dan kecil-kecil ukurannya.”
Dampaknya, pasar sepi dan penghasilan para penjual ikan yang sebagian besar perempuan, turun drastis.
“Biasanya bisa bawa pulang untung bersih sekitar Rp200 ribu. Sekarang, dapat Rp50-100 ribu saja sudah syukur,” kata Ana, penjual ikan lainnya.
Saat kemarau, kerugian ekonomi yang dialami penjual ikan, mungkin juga dirasakan sebagian besar masyarakat yang menetap di lahan basah Sungai Musi.
Hal ini diperburuk oleh ancaman kebakaran hutan dan lahan yang sudah terjadi di Sumsel selama 27 tahun. Kondisi ini, memicu kerugian mulai dari gagal panen, krisis ikan dan air bersih, hingga kesehatan akibat kabut asap.
Berdasarkan penelitian HaKI [Hutan Kita Institut], rawa gambut di Sumatera Selatan yang berubah fungsi seluas 1.123.119 hektar. Sekitar 17 perusahaan HTI menguasai rawa gambut seluas 559.220 hektar, 70 perusahaan sawit seluas 231.741 hektar, serta 332.158 hektar dijadikan pemukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan [BPPIKHL] Wilayah Sumatera, dikutip dari Tempo.co, selama periode Januari-Juli 2024, mencatat 750,83 hektar lahan terbakar di Sumsel.
Dijelaskan Ferdian Kristanto, Kepala BPPIKHL Sumatera, dari luasan terbakar tersebut, sekitar 308,56 hektar berada di lahan gambut, sedangkan 442,26 hektar di lahan mineral.
Lahan gambut yang terbakar terluas berada di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba] seluas 192,52 hektar, disusul Kabupaten OKI [106,36 hektar], dan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [9,68 hektar].
Dikutip dari situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG], puncak kemarau 2024 di sebagian wilayah Sumatera Selatan bagian timur jatuh Agustus ini.
Namun, dikutip dari detik.com, musim kemarau akan berlanjut hingga September. Korbid Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi SMB II Palembang, Veronica Sinta Andayani mengatakan, pascapuncak kemarau [Agustus] dan seterusnya, wilayah Sumsel belum akan memasuki musim hujan.
“Secara statistik, September masih periode musim kemarau,” katanya.
12 warga Sumsel gugat korporasi
Kamis [29/8/2024], sebanyak 12 warga Sumatera Selatan, didukung koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan bernama Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap [ISSPA], mendaftarkan gugatan tiga perusahaan ke Pengadilan Negeri Palembang untuk kasus kabut asap yang terjadi menahun di Sumatera Selatan.
“Mereka menuntut ganti rugi atas tercerabutnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang telah merugikan materiil maupun immaterial,” kata Ipan Widodo, dari LBH Palembang selaku kuasa hukum, sekaligus Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi [PADEK].
Para penggugat adalah warga yang berasal dari Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir [OKI]; Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, OKI; dan Kota Palembang. Latar mereka beragam, mulai petani, penyadap karet, nelayan, peternak kerbau rawa, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga pegiat lingkungan.
Pralensa, penggugat dari Desa Lebung Itam mengatakan, akibat asap, mereka banyak mengalami masalah kesehatan seperti sesak napas dan infeksi paru-paru.
“Bertahun kami menjadi korban kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Kami ingin memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan itu salah karena telah merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami,” ujarnya.
“Asap menghalangi kami untuk menyadap karet atau menangkap ikan. Perusahaan dan pemerintah diharapkan lebih memikirkan lingkungan hidup,” kata Marda Ellius, penggugat lainnya.
Perusahaan yang digugat adalah PT Bumi Mekar Hijau [BMH], PT Bumi Andalas Permai [BAP], dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries [SBA Wood Industries].
Karhutla yang terjadi di wilayah izin tergugat telah memicu kabut asap hingga Kota Palembang pada 2015, 2019, dan 2023. Luas areal terbakar dalam konsesi para tergugat pada 2015-2020 seluas 254.787 hektar, hampir empat kali luas Jakarta.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba mengatakan, konsesi ketiga perusahaan tersebut berada pada lanskap gambut, yang sebenarnya punya peran penting menyimpan karbon. Rusaknya gambut, memicu karhutla dan kabut asap serta memperburuk krisis iklim.
“Kondisi ini berkontribusi menghambat upaya penurunan emisi,” katanya.
Untung Saputra, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA] Sumatera Selatan, sekaligus perwakilan koalisi ISSPA mengatakan, selain memicu konflik agraria berkepanjangan, ketiga perusahaan tersebut juga menimbulkan dampak ekologis. Yaitu, merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat Sumatera Selatan.
“Ini saatnya masyarakat melawan dengan terhormat, untuk menunjukkan mereka memiliki kedaulatan atas ruang hidupnya,” tegasnya./(***)
Editor : pejalan.or.id