Tanjungpinang, pejalan.or.id – Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat dibangun pada tahun 1803 – 1832 oleh Sultan Mahmud Syah III, dan telah menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan bagi masyarakat setempat sejak itu. Arsitekturnya memadukan gaya Melayu, India, dan Arab, dengan warna dominan kuning dan hijau yang mencolok. Salah satu keunikan masjid ini adalah penggunaan putih telur sebagai salah satu bahan campuran untuk merekatkan batu bata, yang memberikan kekuatan dan daya tahan luar biasa pada bangunan ini.
Pulau Penyengat sendiri adalah sebuah pulau kecil yang penuh dengan nilai sejarah, terutama bagi Kerajaan Riau-Lingga. Selain Masjid Sultan Riau, pulau ini juga memiliki banyak situs bersejarah lainnya, termasuk makam-makam raja dan bangsawan, serta benteng pertahanan dari masa lampau.
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga merupakan simbol kebesaran dan kejayaan Kerajaan Riau-Lingga pada masanya.
Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat
Mesjid ini pertama kali dibangun pada tahun 1803 seiring dengan dibukanya Pulau Penyengat sebagai mas Kawin dan kemudian tempat kediaman Raja Hamidah Engku Putri.
Pada masa itu mesjid ini diperkirakan terbuat dari kayu. Hingga pada tahun 1832, Raja Abdurrahman yang pada masa itu menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda ke – 7 Kerajaan Riau-Lingga melakukan renovasi dengan cara bergotong royong dengan semua lapisan masyarakat di Pulau Penyengat kala itu.
Keunikan mesjid ini adalah konon digunakannya putih telur sebagai campuran bahan bangunan untuk membuat mesjid. Arsitektur mesjid ini juga sangat unik dan sarat dengan simbol – simbol ajaran agama Islam, diantaranya adalah:
- Pada tangga mesjid, terdapat 13 buah anak tangga yang menggambarkan 13 rukun shalat.
- Terdapat 5 buah pintu yang melambangkan rukun Islam.
- Terdapat 6 buah jendela yang menggambarkan Rukun iman.
- Pada atap bangunan mesjid ini terdapat 13 buah kubah dan 4 buah menara yang jika dijumlahkan menjadi 17. Angka ini melambangkan jumlah rakaat shalat sehari semalam dalam Islam.
- Di dalam mesjid ini terdapat dua buah almari yang dulunya merupakan Lemari Perpustakaan Khutub Khana Marhum Ahmadi. Di dalam lemari ini masih terdapat buku-buku yang melambangkan kepedulian yang tinggi tentang ilmu Pengetahuan.
Selain itu, di dalam mesjid ini juga terdapat Alqur’an bertuliskan tangan yang ditulis oleh Abdurrahman Stambul pada tahun 1867. Abdurrahman Stambul adalah seorah pemuda Pulau penyengat yang disekolahkan oleh Kerajaan untuk mempelajari agama Islam di Istanbul–Turki. Beliau mempelajari gaya kepenulisan Al-qur’an gaya Stambul. Masjid Sultan Riau ini sudah dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.
Sejarah Masjid Raya Sultan Riau
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat memiliki sejarah yang kaya dan erat kaitannya dengan Kerajaan Riau-Lingga. Berikut adalah rangkuman sejarahnya:
Pendirian dan Latar Belakang
Masjid Sultan Riau didirikan pada tahun 1803 – 1832 oleh Sultan Mahmud Syah III, penguasa Kerajaan Riau-Lingga. Pulau Penyengat dipilih sebagai lokasi karena pulau ini memiliki nilai strategis dan historis bagi kerajaan tersebut. Pulau Penyengat sendiri pernah menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan kerajaan Riau-Lingga.
Pembiayaan dan Kontribusi Masyarakat
Pembangunan masjid ini melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat setempat, termasuk sumbangan bahan bangunan. Salah satu aspek yang unik adalah penggunaan putih telur sebagai salah satu bahan campuran untuk merekatkan batu bata, yang memberikan daya tahan luar biasa pada struktur bangunan. Selain itu, kapur dan pasir juga digunakan sebagai bahan bangunan utama.
Masa Kejayaan
Selama masa kejayaannya, Masjid Sultan Riau menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan di wilayah tersebut. Masjid ini tidak hanya digunakan untuk salat, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya ulama dan cendekiawan Islam untuk berdiskusi dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Di dalam kompleks masjid, terdapat madrasah yang mengajarkan berbagai ilmu agama kepada masyarakat setempat.
Peran dalam Kerajaan Riau-Lingga
Masjid ini memiliki peran penting dalam sejarah Kerajaan Riau-Lingga. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menjadi simbol kebesaran dan kejayaan kerajaan. Pulau Penyengat, dengan Masjid Sultan Riau sebagai pusatnya, pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan setelah pindah dari Bintan.
Masa Kolonial dan Pasca-Kemerdekaan
Pada masa kolonial Belanda, Kerajaan Riau-Lingga mengalami banyak tantangan dan tekanan. Meskipun demikian, Masjid Sultan Riau tetap bertahan sebagai simbol keagamaan dan kebudayaan. Setelah kemerdekaan Indonesia, masjid ini terus berfungsi sebagai tempat ibadah dan situs sejarah yang penting.
Masjid Sultan Riau adalah contoh penting dari warisan budaya Melayu dan Islam di Indonesia, yang mencerminkan kekayaan sejarah dan tradisi masyarakat setempat.
Keunikan Masjid Raya Sultan Riau
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat memiliki sejumlah keunikan yang membuatnya istimewa dan menarik untuk dikunjungi:
Arsitektur Unik: Masjid ini memadukan gaya arsitektur Melayu, India, dan Arab. Warna dominan kuning dan hijau pada bangunan masjid memberikan tampilan yang mencolok dan indah.
Penggunaan Putih Telur: Salah satu keunikan terbesar dari masjid ini adalah penggunaan putih telur sebagai salah satu bahan campuran untuk merekatkan batu bata. Ini memberikan kekuatan dan daya tahan luar biasa pada struktur bangunan, yang telah bertahan selama lebih dari satu abad.
Bahan Bangunan Alami: Selain putih telur, bahan bangunan lainnya yang digunakan adalah kapur dan pasir. Ini mencerminkan teknologi bangunan tradisional yang ramah lingkungan.
Interior dan Eksterior yang Menawan: Interior masjid dihiasi dengan kaligrafi dan ukiran-ukiran yang indah, sementara eksteriornya menampilkan kubah-kubah kecil dan menara yang menarik perhatian.
Sejarah yang Kaya: Masjid ini dibangun pada tahun 1832 oleh Sultan Mahmud Syah III, dan menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan bagi masyarakat setempat. Masjid ini juga menjadi simbol kebesaran dan kejayaan Kerajaan Riau-Lingga.
Koleksi Manuskrip dan Artefak: Di dalam masjid, terdapat koleksi manuskrip dan artefak bersejarah yang berhubungan dengan sejarah Islam dan Kerajaan Riau-Lingga.
Lokasi yang Strategis: Terletak di Pulau Penyengat, masjid ini berada di tempat yang penuh dengan situs bersejarah lainnya, seperti makam-makam raja dan bangsawan serta benteng pertahanan. Ini menjadikan kunjungan ke masjid ini sebagai pengalaman yang kaya akan sejarah dan budaya.
Peran dalam Pendidikan: Masjid Sultan Riau juga pernah berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam, dengan adanya madrasah yang mengajarkan berbagai ilmu agama kepada masyarakat setempat.
Masjid Sultan Riau bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga merupakan warisan budaya yang penting, mencerminkan kejayaan masa lalu dan kekayaan tradisi masyarakat Melayu di Kepulauan Riau./pejalan
Editor : pejalan.or.id