Pangan Lokal Terabaikan, Riset dan Inovasi Kebutuhan Transformasi Sistem Pangan Dibutuhkan

Tanjungpinang, pejalan.or.id – Beragam komoditas pangan lokal unggul di Indonesia, baik dari darat maupun laut, dinilai belum diperhatikan oleh pemerintah. Padahal, keragaman pangan lokal ini memegang peranan penting untuk mencapai ketahanan pangan nasional.

Perhatian ini dianggap penting, mengingat tantangan ketahanan pangan saat ini maupun ke depan semakin berat seiring bertambahnya populasi manusia. Sehingga berpotensi menjadi ancaman krisis pangan global.

  • Perhatian pemerintah terhadap keberagaman pangan lokal dianggap masih kurang. Padahal, keragaman pangan lokal ini berperan penting untuk mencapai ketahanan pangan nasional.
  • Untuk mendukung pangan lokal, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2023 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal.
  • Tidak hanya perubahan iklim, degradasi lahan dan regenerasi petani telah mengancam ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan masa depan yang semakin rentan.
  • Selama ini diversifikasi pangan sudah lama dijalankan. Namun, sayangnya upaya-upaya itu tidak ada insentif yang memadai dan pola konsumsi masyarakat yang serba instan

Tidak hanya perubahan iklim, degradasi lahan, regenerasi petani dan penurunan keanekaragaman hayati telah mengancam ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan masa depan yang semakin rentan.

Hal itu diutarakan David Ardhian, mewakili koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Konsorsium Pangan Bijak dalam diskusi bertajuk Tranformasi Pangan Negara Kepulauan: Suara Masyarakat Sipil untuk Perubahan Kebijakan Menuju Sistem Pangan yang Beragam, Adil dan Lestari di Jakarta, akhir Agustus lalu.

Berkaca dari sejumlah tantangan itu, menurut David bila pemerintah tidak melakukan pengembangan sistem pangan berbasis komunitas dan kearifan lokal, cepat atau lambat pangan lokal di banyak daerah ini akan hilang.

Sedangkan secara alamiah keberadaan pangan lokal ini sudah beradaptasi dengan karakteristik sumber daya alam dan sosial budaya setempat. Selain melindungi pangan lokal, riset dan inovasi untuk transformasi sistem pangan lokal juga perlu dilakukan.

“Selama ini diversifikasi pangan sudah lama dijalankan. Namun, sayangnya upaya-upaya itu tidak ada insentif yang memadai. Sehingga kalau beras itu tersedia murah dan bisa dijangkau

Diskusi bertajuk Tranformasi Pangan Negara Kepulauan: Suara Masyarakat Sipil untuk Perubahan Kebijakan Menuju Sistem Pangan yang Beragam, Adil dan Lestari, di Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

dimana-mana, maka pangan-pangan lokal yang lain ya nggak dapat insentif untuk tumbuh,” kata David yang juga peneliti Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences IPB ini. Padahal, katanya, ketahanan pangan itu tidak hanya bicara soal beras. Akan tetapi, selama ini pemerintah justru masih melakukan upaya penyeragaman pangan. Bila itu terus dilakukan, Indonesia tidak mampu mengembangkan insentif untuk tumbuhnya pangan lokal.

Sistem Pangan Pesisir

Bukan hanya di darat, sistem pangan pesisir dan pulau-pulau kecil juga perlu dikembangkan. Begitupun dengan sumber pangan hewani dari laut karena lumbung protein dari laut masih terbentang luas. Meski begitu, dalam pemanfaatan pangan dari laut ini perlu memperhatikan keberlanjutan agar tetap lestari dan tetap bisa diakses oleh masyarakat.

Di lain sisi, riset dan inovasi untuk kebutuhan transformasi sistem pangan ini juga dibutuhkan, salah satunya yaitu pengembangan blue food. Pangan biru ini dinilai juga bisa menjadi solusi potensial untuk mengatasi ketahanan pangan global.

Benedictus Bedil, Direktur LSM Barakat yang fokus pendampingan di Lembata, NTT, mengungkapkan, pangan lokal hasil bumi di Lembata mampu membentuk budaya pertemanan dalam keterbatasan antara masyarakat pegunungan dengan pesisir.

Pertukaran pangan lokal ini dikenal dengan istilah lokal gelu goredu hope atau kelung lodong yang dilakukan di pasar oleh anggota antar komunitas masyarakat berdasarkan kebutuhan masing-masing.

Nilai tukarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang saling untung. Misalnya ikan ditukarkan dengan jagung. “Dari budaya yang dijalankan secara turun temurun ini, lahirlah inisiatif untuk mendorong ketua-ketua adat untuk menciptakan suatu kearifan yang disebut dengan muro,” ujar Benedictus.

Muro merupakan sebuah inisiatif pencadangan konservasi ekosistem laut berbasis kearifan lokal. Warisan leluhur yang mencoba dihidupkan kembali ini dianggap berkontribusi terhadap mitigasi dan edukasi perubahan iklim.

Pangan lokal hasil panen petani di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, diletakkan dalam wadah anyaman daun koli atau lontar. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Karena muro mampu mempertahankan tiga ekosistem penyangga perikanan berkelanjutan, seperti terumbu karang, lamun dan mangrove.

Maria Mone Soge, salah satu local champion dari Desa Hewa, Flores Timur, NTT, yang tergabung dalam Koalisi Pangan Baik mengungkapkan, keberadaan pangan lokal di kampungnya saat ini semakin terpinggirkan seiring dengan pola konsumsi masyarakat yang serba instan.

Menurutnya, kurangnya literasi terkait pangan lokal di masyarakat membuat kondisi pangan lokal semakin tersisih. Padahal, pangan lokal ini lebih adaptif terhadap kondisi iklim yang ada di wilayah desa, dan juga lebih bergizi. Untuk itu, transformasi sistem pangan lokal dirasa perlu melibatkan anak-anak muda.

Pemerintah dinilai masih melakukan upaya penyeragaman pangan padi diberbagai daerah. Bila itu terus dilakukan, Indonesia tidak mampu mengembangkan insentif untuk tumbuhnya pangan lokal. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Maria Mone Soge, salah satu local champion dari Desa Hewa, Flores Timur, NTT, yang tergabung dalam Koalisi Pangan Baik mengungkapkan, keberadaan pangan lokal di kampungnya saat ini semakin terpinggirkan seiring dengan pola konsumsi masyarakat yang serba instan.

Menurutnya, kurangnya literasi terkait pangan lokal di masyarakat membuat kondisi pangan lokal semakin tersisih. Padahal, pangan lokal ini lebih adaptif terhadap kondisi iklim yang ada di wilayah desa, dan juga lebih bergizi. Untuk itu, transformasi sistem pangan lokal dirasa perlu melibatkan anak-anak muda.

Konsumsi Masih Rendah

Dibandingkan dengan pangan nonlokal, konsumsi pangan lokal masih tergolong rendah dan dibawah potensinya. Pola makan masyarakat umumnya masih belum mencerminkan pola makan yang memenuhi kaidah beragam, bergizi, berimbang, dan aman.

Andik Hardiyanto, Spesialis Kebijakan dan Tata Kelola WWF Indonesa menilai, rendahnya masyarakat mengkonsumsi pangan lokal ini karena pemerintah dianggap kurang sensitif terhadap kelembagaan, budaya dari petani, nelayan, maupun yang terorganisir sebagai masyarakat adat.

Sistem pangan yang ada sekarang ini justru menghasilkan kemiskinan, konflik agraria, dan menghilangkan jenis-jenis pangan lokal. Sehingga dampaknya memutus generasi petani, nelayan dan masyarakat adat untuk berkontribusi terhadap sistem pangan ini.

“Untuk itu, mengamankan sistem pangan lokal yang kemudian menjadi penggerak utama dari sistem nasional ini menjadi penting,” katanya. Dengan begitu, bisa memunculkan prinsip keberagaman, keadilan dan kelestarian.

Sumarlan, Direktur Penyerasian Pembangunan Daerah Khusus, Direktorat Jenderal Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengungkapkan bila berbicara tentang pembangunan dalam bentuk apapun tanpa melibatkan masyarakat adalah omong kosong.

Oleh karenanya, pengelolaan keanekaragaman pangan lokal baik nabati ataupun hewani yang bersumber dari darat maupun laut, harus bersumber dari pemikiran-pemikiran yang memang dibutuhkan di desa.

Dia bilang, sistem agroforestry bisa menjadi jawaban untuk mendukung permasalahan ketahanan pangan. “Yang lebih penting dari pangan lokal adalah juga harus dilakukan pengelolaan dan pemasaran pascapanennya,” tuturnya.

Sebagai upaya untuk mendukung pengelolaan pasca panen pangan lokal ini, lanjutnya, Kementerian Desa juga menyediakan anggaran untuk meningkatkan kapasitas kepada lokal-lokal champion. Selain itu, ada juga pendanaan ketahanan pangan.

Sementara itu, Rinna Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi PanganBadan Pangan Nasional berpandangan, pangan lokal itu sebenarnya mampu menggerakkan perekonomian lokal. Ia menekankan, bahwa pelestarian kuliner nusantara yang menggunakan bahan baku dari pangan lokal juga menjadi penting.

“Tidak hanya mendukung ekonomi lokal dan melestarikan budaya, pelestarian kuliner nusantara ini juga bisa mengurangi jejak karbon,” katanya. Disamping itu, bisa melestarikan sumber daya genetik, menjamin keamanan pangan, menumbuhkan nasionalisme dan rasa kebanggaan.

Untuk mendukung upaya ini, jelasnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.81/2023 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. (***)

Editor : pejalan.or.id

Share |

Artikel Terkait