Perburuan Hiu Masih Marak Dibalik Banyak Negara yang Adopsi Aturan Konservasi

Tanjungpinang, pejalan.or.id – Tangan Sulaiman (nama samaran) begitu cekatan. Hanya dalam hitungan menit, kulit hiu zebra dengan panjang lebih dari satu meter itu berhasil ia pisahkan dari badan. Tak ada yang tersisa.

Rutinitas itu dilakoni Sulaiman sejak belasan tahun silam. Saban pagi, ada ratusan ekor hiu yang ia potong untuk diambil sirip dan kulitnya. “Tapi tidak semua. Untuk yang kulit, beberapa jenis saja,” ujarnya saat ditemui di Pelabuhan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, belum lama ini.

Dari pelabuhan, sirip dan kulit yang telah dipotong itu kemudian dibawa ke tempat penampungan yang berjarak sekitar satu kilometer. Disana, kulit dan juga sirip itu lantas dikeringkan. “Nanti ada yang ambil, sebulan sekali,” kata Nur Hakim, sang pemilik usaha ini.

Perdagangan Hiu Masih Marak

Sebagai komoditas bernilai tinggi, hiu dan pari terus diburu hingga hadapi ancaman kepunahan. Upaya konservasi melalui berbagai regulasi belum mencapai hasil yang diharapkan, kendati makin banyak negara mengadopsi ketentuan tersebut.

Dalam kasus di Indonesia, otoritas terkait juga mewajibkan armada kapal penangkap ikan untuk membawa hiu secara utuh ketimbang hanya siripnya saja. Namun, pada akhirnya ketentuan mendorong peningkatan perdagangan daging hiu.

Studi itu juga mengungkap sekitar 200 negara terlibat dalam perdagangan daging hiu dan pari secara global. Total nilai dari bisnis ini bahkan diperkirakan mencapai USD2,6 miliar setiap tahunnya.

Seorang pekerja tengah mengambil kulit hiu zebra di Pelabuhan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto : A Asnawi

Studi itu juga mengungkap sekitar 200 negara terlibat dalam perdagangan daging hiu dan pari secara global. Total nilai dari bisnis ini bahkan diperkirakan mencapai USD2,6 miliar setiap tahunnya.

Peneliti Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI) Okta Tejo Darmono mengatakan, ada banyak faktor mengapa perdagangan hiu masih marak di tengah tuntutan untuk menjaga kelestarian spesies ini. Salah satunya, adanya mitos akan khasiat mengkonsumsi hiu.

Di Tiongkok atau Hong Kong –yang merupakan pasar terbesar global– mempercayai adanya khasiat ‘palsu’ kesehatan dari mengonsumsi ikan ini. Mengkonsumsi sup hiu juga dianggap sebagai simbol kejayaan.

“Jadi, selama cerita takhayul di masyarakat itu masih kuat, permintaan akan terus tinggi. Apalagi Tiongkok dan Hong Kong merupakan market terbesar dalam bisnis ini,” jelas Tejo saat dihubungi akhir Agustus lalu.

Sebagian masyarakat juga menjadikan daging hiu sebagai sumber pangan alternatif untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Hal itu sebagai respons atas mahalnya harga ikan-ikan yang dikenal sebagai sumber protein tinggi seperti tuna dan sejenisnya.

“Dan fenomena itu banyak terjadi di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat dan sebagainya. Artinya, ketika permintaan itu masih ada, maka rantai pasok dari para nelayan pun akan terus jalan,” ujarnya.

Lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum turut memperparah situasi itu. Hampir di setiap pelabuhan, kata Tejo, tidak dijumpai petugas observer untuk mengkroscek ulang hasil tangkapan. Hal itu menjadikan banyak hiu yang tidak tercatat/tidak dilaporkan masuk ke pasar-pasar gelap.

Menurutnya, pelabuhan memegang peran kunci untuk memastikan rantai pasok perdagangan hiu. Sebab, dari pelabuhan pula proses pendataan dimulai sebelum akhirnya hiu diperdagangkan, baik di pasar lokal maupun global.

“Fakta lainnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui peran pentingnya hiu dan pari pada ekosistem laut. Ketika spesies ini hilang, apa dampak buruknya belum tersosialisasi dengan baik,” katanya.

Hiu martil di salah satu kapal di Pelabuhan Brondong, Lamongan, Jawa Timur sebelum didaratkan.
Foto : A Asnawi

Komoditas Perikanan Utama

Sebagai salah satu perikanan tangkap terbesar di dunia, hiu dan pari masih menjadi komoditas perikanan tangkap utama Indonesia. Indonesia berkontribusi sekitar 13% dari total produksi hiu dan pari dunia, tulis Yayasan Rekam Nusantara dalam laporan terbarunya.

Berdasarkan data statistik yang dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) volume produksi hiu dalam kurun raga tahun (2019-2021) cenderung naik turun. Pada 2019 misalnya, produksi hiu mencapai 25.333,72 ton dan meningkat di periode berikutnya menjadi 29.986 ton. Angka tersebut sedikit menurun di 2021 menjadi 28.148,74 ton.

Hiu dan pari telah ditangkap oleh kapal-kapal penangkap ikan skala kecil dan komersial dengan berbagai jenis alat tangkap, seperti pukat, jaring insang samudera, pukat cincin mini, rawai, dan pancing ulur.

“Lebih dari 150 pelabuhan perikanan di Indonesia telah melaporkan pendaratan hiu dan pari, dengan total produksi didominasi oleh pari sebesar 65%; sedangkan hiu menyumbang 35%,” tulis Rekam dalam laporan berjudul Mengungkap Perdagangan Daging Hiu di Indonesia itu.

Famili Carcharhinidae merupakan kelompok hiu dan pari terbanyak pada tahun 2010 hingga 2021, mendominasi produksi hiu selama 11 tahun terakhir dengan 30,06% produksi nasional. Sementara famili Dasyatidae mendominasi produksi pari sebesar 23,53% dari rata-rata produksi nasional. Kedua kelompok ini mewakili 53,59% dari total rata-rata produksi hiu dan pari Indonesia.

Famili hiu dan pari, antara lain Alopiidae, Myliobatidae, Mobulidae, Sphyrnidae, Squalidae, dan Lamnidae, yang sebagian besar masuk dalam Appendix CITES, mewakili 46,42% rata-rata produksi nasional.

Riset tersebut juga mengungkap mayoritas perikanan hiu berdasar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yakni di WPP 573 (Samudra Hindia). Namun, menurut produksi hiu dan pari, WPP 711 dan 712 telah menjadi daerah pendaratan utama hiu di Indonesia, terutama digunakan oleh kapal komersial.

Potongan tubuh hiu dan pari setelah diambil siripnya di Pelabuhan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto : A Asnawi

Berdasarkan data perdagangan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP, Bali, Maluku, Papua, Bangka Belitung, dan Papua Barat merupakan lima provinsi teratas penyuplai produk hiu dan pari di Indonesia. Daging hiu merupakan produk yang paling banyak diperdagangkan, dengan Bali memimpin perdagangan, diikuti oleh Provinsi Maluku, Papua, Bangka Belitung, dan Papua Barat.

Rantai pasokan daging hiu lokal melibatkan beberapa aktor utama, termasuk nelayan, pengumpul, pengolah, pengecer, eksportir, dan konsumen. Hiu dan pari hasil tangkapan nelayan didaratkan di pelabuhan perikanan kemudian dijual kepada tengkulak yang kemudian mendistribusikannya ke berbagai tujuan tergantung jenis produk hiu.

Pengolahan primer dilakukan dengan membagi hiu menjadi beberapa bagian seperti sirip, daging, kulit, dan tulang rawan. Produk olahan ini kemudian dijual ke pengecer dan restoran atau diekspor ke luar negeri. Daging hiu sebagian besar diproses, didistribusikan, dan dikonsumsi secara lokal, seringkali dengan cara dikeringkan, diasapi, atau diasinkan.

Pasar Ekspor Hiu

Perdagangan hiu telah menjadi industri bernilai ekonomi tinggi selama beberapa dekade. Tingginya permintaan oleh negara-negara di Asia, terutama Tiongkok dan Hong Kong telah mendorong eksploitasi berlebihan terhadap spesies ini.

Di kedua negara tersebut, hiu banyak dimanfaatkan untuk sup, terutama bagian siripnya. Selain siripnya, bagian tubuh hiu lain seperti kulit, tulang, hingga minyak hati juga memiliki pangsa pasar luas dengan beragam produk turunan.

Data ekspor menunjukkan tren peningkatan yang signifikan pada ekspor daging hiu selama satu dekade terakhir, dengan produk hiu beku (kode HS 030381) menyumbang sekitar 64% dari total ekspor. Tujuan ekspor berbeda-beda berdasarkan jenis produk, dan sebagian besar produk hiu dikirim ke negara-negara Asia seperti Vietnam, Tiongkok, Malaysia, dan Korea Selatan.

Sirip hiu dengan berbagai ukuran dijemur di sebuah lokasi penampungan di Lamongan, Jawa Timur. Foto : A Asnawi

Hiu segar terutama diekspor ke Vietnam, sedangkan pari segar sebagian besar diekspor ke Malaysia dan pari beku ke Korea Selatan. Tiongkok menjadi tujuan utama produk hiu segar dan beku serta sirip hiu, sedangkan berbagai negara Asia lainnya menerima produk hiu beku.

Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES) mengatur perdagangan hiu demi menghindari kepunahan. Melalui konvensi ini, beberapa spesies hiu masuk dalam daftar perlindungan.

“Hal itu berarti upaya pemanfaatannya mendapat pengawasan ketat, atau bahkan dilarang sama sekali, “ kata Kepala BPSPL Denpasar wilayah Surabaya, Suwardi Purboyo. Hingga saat ini, total ada 44 jenis hiu dan 20 jenis pari yang dalam Apendiks CITES, yang sebagian di antaranya baru ditetapkan pada November 2023 lalu. (***)

Editor : pejalan.or.id

Share |

Artikel Terkait