Batam, pejalan.or.id – Pohon raksasa, batang tegak lurus hampir tanpa cabang, tinggi menjulang dengan daun rimbun bagian pucuknya. Ya, keruing paya, jenis pohon yang terkenal dengan kayu yang bernilai tinggi, kuat, tahan lama dan kaya manfaat. Kayu ini biasa dimanfaatkan sebagai perahu, dermaga dan tiang rumah. Namun, keberadaannya kini terancam punah akibat deforestasi dan perusakan habitat.
Keruing paya (Dipterocarpus coriaceus) atau biasa dikenal kayu keruing tersebar di beberapa wilayah Asia Tenggara, mulai dari China, Sri Lanka, Burma, Thailand, Indonesia dan wilayah Malesiana. Di dunia ada 70 spesies, 38 di antaranya tersebar di Indonesia. Sebagian besar tumbuh di hutan primer pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa.
Pohon keruing banyak tumbuh di tepi sungai kecil dengan permukaan berbatu. Tinggi pohon ini bisa mencapai 30-60 meter dengan diameter lebih dari 150-260 cm. Batangnya berwarna abu-abu keputihan, lurus, dan berbentuk bulat gilig. Secara umum pohon ini adalah salah satu penyusun utama dari hutan hujan tropis dataran rendah pada ketinggian 1.000-1.500 mdpl dan merupakan penguasa tajuk hutan.
Eksploitasi untuk bahan baku konstruksi bangunan, industri kapal, kayu dermaga, pembuatan furniture rumah membuat kondisi pohon keruing kian terancam. Status keruing paya dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah terancam kritis (Critically Endangered).
Eksploitasi untuk bahan baku konstruksi bangunan, industri kapal, kayu dermaga, pembuatan furniture rumah membuat kondisi pohon keruing kian terancam. Status keruing paya dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) sudah terancam kritis (Critically Endangered).
Padahal pohon ini juga bermanfaat sebagai obat-obatan. “Ketika pohon (keruing paya) punah, dampaknya akan sangat mengerikan. Kita dapat kehilangan peluang untuk mengembangkan obat baru dan akan berpengaruh terhadap ekosistem yang berdampak ke hidup kita.” kata Henti Hendalastuti Rachmat, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kepada Mongabay, April lalu.
Sebagai bahan obat-obatan, keruing memiliki kandungan zat kimia resveratrol yang berguna untuk mencegah tumor. Kandungan kumarinnya yang bersifat anti-HIV, anti-tumor, antihipertensi, dan analgesik. Kandungan ini dapat diekstrak dari kulit, batang, ataupun buahnya.
Kesuma Wijaya, Kasi Perencanaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam mengatakan pohon keruing di Batam kian mengkhawatirkan. Keruing paya hanya tersisa 10 batang pohon dewasa di kawasan hutan lindung Bukit Tiban, Sei Ladi, dan Taman Wisata Alam Muka Kuning.
“Ini fakta bahwa keberadaan keruing paya di Kota Batam tengah menghadapi ancaman nyata terhadap kepunahan dengan fakta hanya tinggal sedikitnya pohon indukan yang masih tersisa,” jelasnya.
Ancaman keruing paya di habitatnya
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepulauan Riau, kerusakan hutan di Batam mencapai 47% dari total hutan 382 hektar. Hal ini disebabkan sebagian Kota Batam sebagai kawasan investasi Free Trade Zone, pemukiman, pertambangan hingga perkebunan.
Kesuma Wijaya, Kasi Perencanaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam menjelaskan hutan di wilayah Batam semakin menyusut luasannya dan terfragmentasi. Selain itu, perubahan, penurunan dan konversi status hutan memperparah kondisinya.
“Ini bisa menekan habitat dan ekosistem dan meningkatkan kerentanan suatu spesies terhadap kepunahan,” ujarnya.
Henti juga bilang hilangnya spesies ini juga disebabkan hilangnya Daerah Tangkapan Air (DTA) sekitar waduk-waduk di Batam dalam periode 1990 hingga 2021. Misalnya, pada DTA Tembesi yang mengalami penurunan hingga 12 persen atau seluas 1.037,20 ha dalam kurun waktu 31 tahun. “Selain penurunan luas, regenerasi yang lambat dari keruing paya juga berkontribusi terhadap langkanya spesies ini,” ujar Henti.
Yayasan Serindit Philosophy Centre menyebutkan hilangnya keruing paya di Batam menjadi sebuah alarm terhadap kepunahan pohon lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Serindit Philosophy Centre, selain keruing paya ada jenis pohon lainnya yang mengalami ancaman yang sama. “Seperti Rubroshorea acuminata (Meranti Rambai), Anthoshorea bracteolata (Meranti Putih), Rubroshorea dasyphylla (Meranti Batu), Rubroshorea leprosula (Meranti Lempung), Rubroshorea johorensis (Merukuyong), dan Anisoptera costata (Mersawa) yang mengalami ancaman yang sama”, ungkap Fauzan Alawy, Direktur Serindit Philosophy Centre, pada Maret lalu.
Bersama dengan KPHL Unit II Batam, Yayasan Serindit Philosophy Centre melakukan konservasi untuk spesies endemik, langka, dan terancam punah. Salah satunya melakukan eksplorasi, inventarisasi, penyelamatan spesies dengan pengambilan anakan alam secara selektif yang kemudian dibesarkan di persemaian, dan kegiatan penanaman kembali spesies-spesies tersebut.
*Chantira Saifimar dan Ades Galingging merupakan peserta Into the Climate Stories: Fight for the Future #2 di Batam. Keduanya merupakan anggota Serindit Philosophy Centre — organisasi penelitian dan pendidikan nirlaba yang bergerak di bidang konservasi biodiversitas./pejalan
Editor : pejalan.or.id