Tanjungpinang, pejalan.or.id – Dua tahun lalu, populasi dunia mencapai titik 8 milyar jiwa. PBB pun lantas menetapkan 15 November 2022 menjadi Hari 8 Milyar, dan menganggapnya sebagai satu tonggak penting dalam perjalanan umat manusia. Butuh ratusan ribu tahun untuk sampai pada jumlah 1 miliar, tapi hanya butuh waktu sekitar 220 tahun untuk mencapai angka 8 milyar.
Mengingat pentingnya isu-isu populasi, PBB menobatkan 11 Juli sebagai Hari Populasi Sedunia. Tanggal itu mengingatkan pada saat para ahli menyatakan penduduk dunia telah mencapai lima milyar jiwa pada 11 Juli 1987 lalu.
Tahun ini populasi manusia di dunia diperkirakan telah mencapai 8,2 milyar jiwa. Sementara pada 2030 mendatang jumlah manusia di bumi diprediksi mencapai lebih dari 8,5 milyar. Populasi manusia di bumi akan mencapai puncaknya pada pertengahan 2080 mendatang menurut PBB. Jumlahnya ditaksir ada lebih dari 10 milyar, dan setelahnya akan berangsur-angsur turun.
Pada masa lalu penyebab turunnya populasi kerap karena bencana alam, perang, atau wabah penyakit. Namun di masa depan turunnya populasi lebih disebabkan karena angka kelahiran yang turun (total fertility rate/TFR). Kecenderungan ini sudah muncul di banyak negara, terutama negara maju. Di sana banyak pasangan yang memilih memiliki sedikit anak, atau bahkan tidak sama sekali.
Indonesia juga mulai mengalami perlambatan jumlah penduduk. Jika pada 1971 angka kelahiran mencapai 5,61, pada 2020 tinggal 2,18 saja. Ini artinya setiap pasangan rata-rata hanya memiliki 2 anak. Tiga propinsi yang memiliki TFR terendah adalah Jakarta (1,75), Yogyakarta (1,89), dan Jawa Timur (1,98).
Penduduk Indonesia saat ini (2024) diperkirakan berjumlah 281.603.000 jiwa. Dengan mengikuti tren saat ini, maka pada 2030 diperkirakan populasinya ada 297,43 juta jiwa, sedangkan pada 2050 berjumlah 328,93 juta jiwa.
Tahun 2030 kerap menjadi acuan karena tahun itu menjadi batas waktu bagi seluruh anggota PBB untuk menuntaskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Ada 17 tujuan global yang ingin dicapai pada 2030, di antaranya jaminan akses air bersih, kecukupan energi bersih, hingga konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.
Sebenarnya jika dikelola dengan baik jumlah populasi manusia yang terus meningkat bisa menjadi berkah. Misalnya, akan ada lebih banyak gagasan kreatif untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Namun di sisi lain, jumlah populasi yang tinggi juga bisa menjadi beban. Kebutuhan dasar seperti air bersih, tempat tinggal, makan, juga energi yang jumlahnya terbatas belum tentu bisa diakses oleh banyak orang. Permintaan yang terus meningkat akan sumber daya yang terbatas itu membuat kelompok yang lemah semakin sulit mengakses. Tak jarang perebutan sumber daya ini bahkan memicu konflik yang berujung perang.
PBB sendiri telah memperingatkan, jika dunia terus berada di jalurnya seperti sekarang maka pada 2030 kemungkinan dunia akan menghadapi kekurangan pasokan air bersih sebesar 40 persen. Sejumlah tokoh dunia juga memperingatkan, air menjadi jantung banyak krisis di berbagai kawasan. Diperkirakan sebanyak 700 juta orang terancam mengungsi karena krisis air pada 2030.
Populasi manusia yang meningkat, membutuhkan lahan tempat tinggal sekaligus pertanian. Menurut FAO, hampir 90 persen deforestasi secara global merupakan akibat dari perluasan pertanian. Sejumlah negara sebenarnya telah menyepakati untuk menghentikan deforestasi dan menghutankan kembali lahan yang hilang pada 2030. Namun tampaknya hal itu semakin sulit terwujud karena arah tren justru menunjukkan hal sebaliknya.
Dalam soal energi, konsumsi secara global akan meningkat hingga 2050. Meski ada upaya untuk melakukan efisiensi, namun sayangnya langkah ini tidak cukup. Populasi yang terus meningkat, tuntutan standar hidup yang lebih tinggi, juga kebutuhan untuk terus memproduksi barang dan jasa, membuat konsumsi energi juga semakin meningkat.
Sayangnya, bahan bakar fosil masih yang utama memasok energi secara global pada 2030 yaitu 73 persen. Sementara emisi karbon terkait energi global diperkirakan mencapai puncak pada 2025. Konsumsi bahan bakar fosil yang tetap tinggi telah memunculkan kekhawatiran upaya membatasi kenaikan suhu global rata-rata hingga 1,5 derajat celsius sulit tercapai.
Planet ini sekarat lebih cepat dari yang diduga. Judul ulasan di Livescience itu menyorot sebuah artikel di jurnal Frontiers. Sebanyak 17 peneliti dari Amerika Serikat, Meksiko, dan Australia telah mengingatkan tiga krisis besar yang dihadapi kehidupan di bumi. Yaitu krisis iklim, penurunan keanekaragaman hayati, populasi manusia yang meningkat ditambah konsumsi yang berlebihan.
Misalnya, mereka mengutip IUCN yang memperkirakan 20 persen dari semua spesies berada dalam bahaya kepunahan dalam beberapa dekade mendatang. Menurut mereka, sekarang kehidupan sudah berada di jalur kepunahan besar ke enam yang tidak dapat disangkal secara ilmiah.
Mereka mengakui, ada banyak contoh intervensi yang berhasil mencegah kepunahan, memulihkan ekosistem, dan mendorong aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Namun, pandangan yang lebih realistis atas tantangan yang dihadapi umat manusia akan sangat berguna untuk memetakan masa depan yang dihadapi./pejalan
Oleh : Nuswantoro/***
Editor : pejalan.or.id
Opini cerdas, Tetap bersemangat mencerdaskan generasi yang akan datang! Pejalan Keren…