Jakarta, Pejalan.or.id – Sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki perkebunan sawit seluas 16,8 juta hektar. Dengan kontribusi ekspor yang mencapai US$ 37,76 miliar pada tahun 2022 dan US$ 29,54 miliar pada tahun 2023, industri sawit telah menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Namun, meskipun luas lahan yang besar, ekspansi perkebunan sawit di Indonesia diperkirakan masih akan terus terjadi untuk memenuhi permintaan ekspor serta ambisi Program Biodiesel Indonesia.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan berfokus pada swasembada pangan dan energi, salah satunya melalui pemanfaatan sawit untuk biodiesel. Skenario pengembangan biodiesel B40 hingga B50 tengah dirancang, yang memerlukan perluasan lahan sawit. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi peningkatan deforestasi serta hilangnya lahan sumber pangan di masa mendatang. Lansiran dari hijauku.com.
Pembatasan ekspansi perkebunan sawit sebenarnya telah diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2019 tentang Penundaan Izin dan Evaluasi Perkebunan Sawit, atau dikenal dengan Moratorium Sawit. Namun, upaya tersebut masih menghadapi banyak tantangan. Koalisi Moratorium Sawit menekankan bahwa moratorium sawit perlu didukung oleh analisis ekonomi dan lingkungan yang komprehensif, termasuk analisis Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH), untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Dalam rangka mendorong perbaikan tata kelola industri sawit di Indonesia, Koalisi Moratorium Sawit menggelar diskusi publik atas kertas kebijakan berjudul “Urgensi Perbaikan Tata Kelola Sawit melalui Kebijakan Penghentian Pemberian Izin dalam Perspektif Ekonomi dan Daya Dukung Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH)”. Diskusi ini bertujuan untuk mengevaluasi perlunya penghentian izin perluasan sawit bagi industri besar serta mengutamakan intensifikasi produktivitas. Koalisi berharap diskusi ini dapat menghasilkan gagasan konstruktif yang mendukung tata kelola sawit berkelanjutan di masa pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran.
Peneliti Lokahita, Jesika Taradini memberi pandangan terkait perkembangan perkebunan sawit dengan riset cap perkebunan sawit di Indonesia.
“Melihat fakta bahwa sawit di 3 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua telah melewati ambang batas, maka alih-alih memberi pintu terhadap pembukaan sawit baru, seluruh pihak harus mengupayakan pemulihan kondisi lingkungan di tiga pulau tersebut,” jelas Jesika.
Secara nasional, lanjutnya, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap sawit sudah terpenuhi dengan luas sawit yang ada sekarang. Penambahan kebun baru hanya akan memberikan keuntungan pada pelaku usaha besar dan minim dampak pada masyarakat serta pemasukan negara.
Dari sisi ekonomi, Ekonom Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, melihat kebijakan moratorium sawit akan membawa dampak ekonomi positif yang signifikan, terutama bila digabungkan dengan program replanting.
“Dampak implementasi kebijakan moratorium sawit+replanting mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada tahun 2045 pada: output ekonomi Rp28,9 triliun, PDB Rp28,2 triliun, pendapatan masyarakat Rp28 triliun, surplus usaha Rp16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp165 miliar, ekspor Rp782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761 ribu orang. Angka ini sangat signifikan dibandingkan tanpa moratorium yang cenderung negatif di semua aspek sehingga urgensi penerapan kebijakan moratorium sawit sesuai dengan manfaat ekonominya,” jelas Nailul Huda.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyebut adanya urgensi penerapan kebijakan penghentian pemberian izin sawit. Bahwa perluasan sawit terus terjadi, terlebih arah kebijakan ke depan mendukung pengembangan Program Biodiesel berbasis sawit yang terus meningkat.
Dalam pidato pelantikannya Presiden Prabowo Subianto akan berfokus pada swasembada pangan dan energi. Salah satunya melalui pemanfaatan sawit untuk biodiesel.
“Yang mana hal ini sangat berpotensi besar terjadinya deforestasi dan mengancam eksistensi lahan sumber pangan. Hasil kajian ekonomi dan nilai ambang batas “cap” sawit sudah menunjukkan urgensi dilakukan penghentian pemberian izin sawit bagi pelaku usaha sawit.
“Bahwa penghentian pemberian izin sawit plus replanting dapat berdampak positif bagi ekonomi. Luas sawit saat ini juga sudah mendekati ambang batas. Sehingga penerapan kebijakan moratorium sawit menjadi semakin penting untuk menghentikan ekspansi yang tidak terkendali, memastikan praktik berkelanjutan, dan menciptakan tata kelola yang adil dan transparan demi kesejahteraan masyarakat,” ujar Surambo.
Sementara itu, Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien menyoroti ketidakefektifan regulasi yang ada dalam mengatasi masalah tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Meskipun terdapat norma mengenai pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan, kebijakan ini belum mampu menyelesaikan persoalan tumpang tindih lahan dan justru berpotensi merugikan negara dari segi pendapatan pajak yang hilang.
“Berbagai aturan yang ada belum cukup untuk mengurai persoalan tata kelola sawit yang penuh sengkarut,” ujar Andi.
Alih-alih memberikan kepastian hukum, ujar Andi, pemutihan lahan sawit di kawasan hutan berisiko membuka celah kerugian bagi negara dan mengurangi potensi penerimaan pajak. Dengan sistem perizinan yang masih rentan terhadap praktik koruptif, penegakan hukum yang tegas dan konsolidasi data yang transparan sangat dibutuhkan untuk melindungi kepentingan negara dan lingkungan.
Sementara terkait regulasi anti deforestasi Uni Eropa (EUDR), Andi menyebut urgensi moratorium sawit semakin relevan untuk menjawab ketentuan regulasi baru itu.
“Moratorium ini merupakan kebijakan progresif pemerintah untuk menjawab ketentuan EUDR. Karena selain merupakan komitmen mengurangi angka deforestasi global, tetapi juga moratorium ini dapat mendorong produksi sawit yang bebas dari unsur ilegalitas, dan membantu pencatatan due diligence mengingat moratorium memandatkan evaluasi perizinan,” jelas Andi.
Peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin mencermati Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
“Moratorium sawit masih sangat dibutuhkan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan yang belum optimal,” ujar Sadam Afian, Peneliti Madani Berkelanjutan. “Masih ada banyak permasalahan terkait konsolidasi data, pelanggaran izin, dan ekspansi perkebunan yang belum terkendali di berbagai provinsi, termasuk Papua dan Kalimantan. Kebijakan moratorium ini diperlukan untuk mengevaluasi izin yang ada dan memastikan bahwa pengelolaan industri sawit berjalan secara lebih transparan, berkelanjutan, dan tidak merugikan lingkungan.”
Sadam menambahkan bahwa moratorium akan mendukung target iklim Indonesia. “Penghentian izin dan bukaan lahan baru akan mendukung komitmen iklim Indonesia, sebab sektor FOLU dan Energi masih menjadi tulang punggung target iklim. Bukaan baru akan memperbesar angka karbon terlepas. Dengan menghentikan izin dan bukaan baru, akan memperbesar kontribusi FOLU dalam mencapai target iklim.”
“Di samping komitmen iklim, moratorium juga turut berkontribusi dalam menjamin lingkungan hidup yang layak, baik, dan sehat untuk hari ini dan masa mendatang. Moratorium terhadap izin dan bukaan lahan baru, serta perbaikan tata kelola harus dibaca satu nafas sebagai bagian dari upaya serius dalam mewujudkan sawit yang adil dan berkelanjutan.” tambahnya.
Merangkum pandangan koalisi, Olvy Tumbelaka, Senior Campaigner Kaoem Telapak menilai Indonesia perlu memberlakukan kembali moratorium perizinan baru kelapa sawit yang lebih kuat dari Inpres No. 8 karena tiga alasan penting: Pertama, untuk melindungi hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah kritis seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua dari deforestasi. Kedua, untuk memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan pasar internasional, terutama regulasi anti-deforestasi Uni Eropa, Inggris, dan China.
“Ini penting untuk mempertahankan akses pasar dan daya saing sawit Indonesia. Serta yang ketiga, untuk melindungi kesejahteraan petani kecil, masyarakat lokal dan adat melalui tata kelola perkebunan yang lebih baik dan berkelanjutan,” pungkas Olvy. (***)