Tanjungpinang, pejalan.or.id – Sistem penting arus Samudra Atlantik yang memengaruhi cuaca di seluruh dunia menunjukkan tanda-tanda awal keruntuhan. Para ilmuwan dalam studi terbaru memperingatkan bahwa kondisi tersebut bisa memicu bencana besar pada tahun 2030-an.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Sebelumnya para peneliti juga telah menemukan bahwa sistem penting tersebut atau Sirkulasi Pembalikan Meridional Atlantik (AMOC) dapat mengalami keruntuhan, karena melemah akibat suhu laut yang menghangat dan kadar garam yang terganggu akibat perubahan iklim.
Namun, dalam penelitian terbaru, yang sedang ditinjau sejawat dan belum dipublikasikan dalam jurnal, menunjukkan bahwa malapetaka tersebut dapat terjadi pada 2037 hingga 2064.
Penelitian ini menunjukkan bahwa sistem tersebut kemungkinan besar akan runtuh pada tahun 2050.
“Ini benar-benar mengkhawatirkan,” kata René van Westen, seorang peneliti kelautan dan atmosfer di Universitas Utrecht di Belanda dan salah satu penulis penelitian kepada CNN, dikutip Minggu (4/8/2024).
“Semua efek samping negatif dari perubahan iklim antropogenik akan terus berlanjut, seperti lebih banyak gelombang panas, lebih banyak kekeringan, lebih banyak banjir. Iklim akan menjadi lebih terdistorsi,” tambahnya.
Sistem AMOC bekerja seperti ban berjalan global raksasa, yang membawa air hangat dari daerah tropis menuju Atlantik Utara, tempat air mendingin, menjadi lebih asin dan tenggelam jauh ke dalam Samudra Atlantik, sebelum menyebar ke selatan.
Arus tersebut membawa panas dan nutrisi ke berbagai wilayah di dunia dan memainkan peran penting dalam menjaga iklim di sebagian besar belahan Bumi Utara tetap sejuk.
Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah memperingatkan akan stabilitas sirkulasi karena perubahan iklim telah menghangatkan lautan dan mencairkan es. Hal ini yang kemudian mengganggu keseimbangan panas dan garam yang menentukan kekuatan arus.
Dampak runtuhnya AMOC akan membuat sebagian dunia tidak dapat dikenali lagi.
Dalam beberapa dekade setelah keruntuhan, es Arktik akan mulai merayap ke selatan, dan setelah 100 tahun, akan meluas hingga ke pantai selatan Inggris. Suhu rata-rata Eropa akan anjlok, seperti halnya Amerika Utara termasuk sebagian wilayah di AS.
Hutan hujan Amazon akan mengalami pembalikan total dalam musimnya yakni musim kemarau saat ini akan menjadi bulan-bulan hujan, dan sebaliknya.
Menurut Stefan Rahmstorf, seorang ahli oseanografi fisik di Universitas Potsdam di Jerman yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan bahwa runtuhnya AMOC adalah bahaya yang sangat besar dan harus dihindari.
Untuk mencapai kesimpulan mereka, para ilmuwan dari Utrecht menggunakan model canggih dan untuk pertama kalinya mengidentifikasi suatu area di Samudra Atlantik Selatan sebagai tempat yang optimal untuk memantau perubahan sirkulasi dengan menggunakan data observasi.
Mereka mengamati suhu dan kadar garam laut di sana untuk memperkuat prediksi sebelumnya tentang kapan AMOC akan mencapai titik kritisnya.
Rahmstorf mengatakan bahwa penekanan dalam penelitian kelautan pada waktu keruntuhan merupakan perkembangan yang relatif baru. Namun, hal ini menunjukkan seberapa jauh pemahaman para ilmuwan tentang pelemahan AMOC telah berkembang.
“Sampai beberapa tahun lalu, kami mendiskusikan apakah hal itu akan terjadi, sebagai semacam risiko berdampak tinggi dengan probabilitas rendah. Dan sekarang tampaknya hal itu akan terjadi lebih besar daripada beberapa tahun lalu,” ungkap Rahmstorf.
Meskipun kemajuan dalam penelitian AMOC telah cepat dan model yang mencoba memprediksi keruntuhannya telah maju dengan kecepatan kilat, model tersebut masih memiliki masalah.
Misalnya, model-model tersebut tidak dapat memperhitungkan faktor penting dalam kehancuran AMOC seperti mencairnya es di Greenland. Sejumlah besar air tawar mengelupas dari lapisan es dan mengalir ke Atlantik Utara, yang mengganggu salah satu kekuatan pendorong sirkulasi garam.
“Anda sudah mendapatkan aliran air tawar yang sangat besar ke Atlantik utara, yang akan benar-benar mengganggu sistem,” kata Rahmstorf.(***)
Editor : pejalan.or.id