Investigasi Tindak Perdagangan Orang di Sektor Perikanan, Benarkah Indonesia Berhasil?

Kepri, pejalan or.id – Pemerintah Amerika Serikat kembali menerbitkan Laporan Tahunan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tahun 2024. Laporan tersebut kembali menempatkan Indonesia pada posisi kelompok negara tier-2, yaitu negara-negara yang tidak memenuhi standar minimum dalam melawan perdagangan orang.

Tetapi laporan itu menyebutkan Indonesia sudah meningkatkan upaya dalam investigasi dan penindakan yang berpotensi terjadi TPPO, termasuk dalam sektor perikanan.

Indonesia mendapatkan penilaian yang bagus dari Pemerintah Amerika Serikat dalam menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada sektor perikanan. Penilaian itu tercatat resmi dalam Laporan Tahunan TPPO AS yang diterbitkan 2024

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mempublikasikan analisis mereka terhadap laporan yang diterbitkan Departemen Luar Negeri AS itu. Hasilnya, mereka menilai kalau laporan tersebut tidak mencerminkan situasi nasional yang terjadi di Indonesia.

Manajer Hak Asasi Manusia (HAM) DFW Indonesia Miftachul Choir mengatakan kalau peringkat Indonesia pada laporan tersebut tidak sesuai dengan realita pengentasan TPPO secara nasional. Tegasnya, peringkat tier-2 tidak pantas disandang oleh Indonesia.

Sikap protes tersebut diungkap, karena DFW Indonesia menilai kalau Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam mencegah, menangani, dan menindaklanjuti dugaan TPPO pada sektor perikanan. Juga, Indonesia terkesan hanya fokus pembenahan tata kelola awak kapal perikanan (AKP) migran pada pengentasan TPPO.

Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia masuk kelompok negara tier-2 karena dinilai berhasil meningkatkan upaya dalam investigasi dan penindakan berpotensi terjadi pada TPPO, termasuk pada sektor perikanan

Padahal, Pemerintah seharusnya bisa juga membenahi tata kelola AKP domestik, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.

“Kasus ini membuka tabir kegagalan Pemerintah Indonesia,” ungkapnya.

Ilustrasi. 16 orang nelayan Kepri dipulangkan setelah menjalankan proses hukum di Malaysia. Foto : Yogi Eka Sahputra

Gagalnya Indonesia dalam mencegah, menangani, dan menindaklanjuti dugaan TPPO tercermin dari pengungkapan kasus penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF) yang melibatkan kapal ikan Indonesia (KII) KM Mitra Utama Semesta (MUS) dengan kapal ikan asing (KIA) KM Run Zeng 03.

Kedua kapal tersebut ditangkap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) pada April dan Mei 2024. Kedua kapal kemudian dilaporkan terindikasi dalam TPPO, berdasarkan laporan dari AKP kepada National Fisher Center (NFC) yang dikelola DFW.

Akan tetapi, dugaan TPPO yang melibatkan KM MUS dan KM Run Zeng ternyata bukan satu-satunya kasus yang terjadi di sektor perikanan. Selama Juni 2023 – Juli 2024, NFC juga menerima enam aduan AKP migran yang berpotensi menjadi korban TPPO.

Tetapi, pencatatan tersebut dinilai keliru dan tidak layak disematkan kepada Indonesia. Sebabnya, karena Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam mencegah, menangani, dan menindaklanjuti dugaan TPPO pada sektor perikanan.

Merujuk pada laporan dari Pemerintah AS, DFW Indonesia menyoroti sejumlah permasalahan yang terjadi di Indonesia. Berikut adalah rinciannya:

Pertama, Indonesia masih lemah dalam penegakan hukum dan pengawasan di laut. Masalah ini disorot, karena NFC menerima laporan yang menunjukan kalau korban tidak mengetahui bahwa dirinya akan bekerja di KIA.

Sorotan tersebut ada, karena korban dugaan TPPO pada kasus KM Run Zheng, adalah karena mereka dipaksa menjadi pekerja migran tanpa prosedur saat dipaksa harus berpindah dari KM Run Zheng 03 ke Run Zheng 05 di tengah laut Arafura.

“Berbeda dengan kasus-kasus TPPO pada umumnya, yang mana AKP secara prosedural telah mendaftarkan diri di perusahaan perekrutan untuk kemudian dipekerjakan di kapal asing,” terang Miftachul.

Juga, Indonesia terkesan hanya fokus pembenahan tata kelola awak kapal perikanan (AKP) migran pada pengentasan TPPO. Padahal, Pemerintah seharusnya bisa juga membenahi tata kelola AKP domestik, merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021

Menurutnya, syahbandar perikanan yang berperan sebagai otoritas yang mewakili pemerintah seharusnya bisa mengesahkan, sekaligus memeriksa administrasi dan keselamatan pelayaran, termasuk Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang berisi identitas kapal, identitas pribadi, upah, daerah penangkapan, hingga alat tangkap.

Selain dugaan TPPO, KM Run Zeng 03 dan 05 juga melanggar Undang-Undang Perikanan, karena keduanya tidak memiliki izin untuk berlayar dan menangkap ikan di perairan Indonesia, serta terlibat dalam IUUF.

Pengejaran buronan kapal ikan asing Run Zheng 03 berbendera Rusia oleh Kapal Pengawas (KP) Paus 01 PSDKP KKP di perairan Laut Arafura, Minggu (19/5/2024). Foto : Youtube PSDKP KKP

Apa yang terjadi pada dua KIA tersebut, menjadi bukti kekeliruan klaim oleh AS yang menyebut Indonesia bisa menginvestigasi TPPO pada sektor perikanan. Faktanya, kedua KIA terlibat dalam TPPO dan belum mampu dilakukan investigasi oleh Pemerintah Indonesia.

Dugaan tersebut muncul, karena kedua KIA berbendera Rusia itu tercatat sudah ada di perairan Indonesia sejak Juni 2023. Itu berarti, selama setahun berada di Indonesia secara ilegal, kedua kapal mendapatkan dukungan kuat dari oknum.

“Tidak mungkin kapal ini dapat leluasa menangkap ikan di lautan Indonesia jika tidak ada aktor yang ‘menjamin’ aksesnya,” tegasnya.

Bagi Miftachul, fenomena tersebut menjelaskan bahwa pengawasan yang dilakukan pemerintah di wilayah lautnya masih lemah. Hal itu dimanfaatkan oleh KIA untuk bisa bergerak bebas, IUUF, dan menggunakan tenaga kerja perikanan yang diupah murah.

“Padahal, sudah ada tujuh otoritas yang bertugas mengawasi lautan Indonesia,” tambahnya.

Kedua, pekerja anak pada sektor perikanan. Sorotan ini muncul, karena berdasarkan laporan dari NFC, ada tiga orang anak di bawah umur yang bekerja pada KM MUS bersama KM RZ 03 dan RZ 05. Fakta itu memprihatinkan, karena bekerja di atas kapal ikan memerlukan PKL dan kartu tanda penduduk (KTP).

Padahal, memperkerjakan anak di bawah umum adalah melanggar Konvensi Hak Anak dan itu sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak), dan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pelanggaran tersebut kembali menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia lalai dalam memastikan terpenuhinya PKL bagi seluruh AKP sebelum KII diberangkatkan. Para korban yang direkrut dan dimanipulasi oleh calo juga merupakan imbas dari belum diaturnya penempatan dan perekrutan dalam Permen KP 33/2021.

Plt Dirjen PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono dengan AKP KM MUS yang ditangkap oleh KP Orca 06 di Laut Arafura, Maluku karena melakukan transshipment ilegal dengan melibatkan dua KIA, yaitu Run Zeng 03 dan Run Zeng 05. Foto : PSDKP KKP

Ketiga, dualisme perizinan yang masih menghantui penanganan TPPO. Sorotan ini muncul, karena sejak sejak 14 Juni 2023 hingga 15 Juli 2024, terdapat 52 agensi perekrutan mengajukan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan (SIUPPAK) kepada Kementerian Perhubungan RI.

Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran sudah jelas mengatur agensi perekrutan untuk mendaftar melalui Kementerian Ketenagakerjaan RI.

Dengan kata lain, agensi perekrutan seharusnya mengajukan perizinan kepada Kemnaker RI dan bukan Kemenhub RI. Tetapi, faktanya bahwa SIUPPAK sudah diterbitkan oleh Kemenhub, dan dua agensi perekrutan asal Pemalang, Jawa Tengah masuk dalam laporan NFC selama Juni 2023-Juni 2024.

Berdasarkan UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Pasal 1 angka 25 Ketentuan Umum telah menjabarkan tentang definisi menteri, yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Ketentuan tersebut menjadi tegas, namun tetap terjadi dualisme perizinan. Akibatnya, terjadi hambatan penempatan pekerja migran Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak demi terwujudnya hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja.

“Semua itu dilakukan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum,” ungkapnya.

Sayangnya, dalam ketentuan penutup pada PP 22/2022 tidak ada klausul tentang pencabutan kewenangan untuk penerbitan SIUPPAK. Meskipun, klausul yang berlaku sekarang menjadi penyebab terjadinya dualisme perekrutan dan penempatan AKP. Parahnya, saat ini masih dibuka permohonan perizinan melalui website Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub RI.

Dua buruh angkut memikul hasil tangkapan ikan tuna di Pelabuhan tradisional di Kedonganan, Badung, Bali. Foto : A. Asnawi

Celah Dualisme

Pengacara Publik DFW Indonesia yang juga terlibat dalam National Fisher Center (NFC) Wildanu Syahrir Guntur menyebut kalau dualisme perizinan yang dikeluarkan oleh Kemenhub RI dengan Kemnaker RI berpotensi menjadi celah terjadinya TPPO.

Celah itu muncul, karena fungsi pengawasan seharusnya dipegang kembali oleh Kemnaker RI sebagai institusi yang menaungi para pekerja migran sebagaimana amanat dari UU 18/2017. Kewenangan yang belum berpindah itu, dijadikan celah oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Keempat, terbitnya peraturan pelaksana dari PP 22/2022. Penerbitan itu menjadi sorotan, karena ada empat peraturan pelaksana yang menjadi mandat dan harus diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan bidang ketenagakerjaan, spesifik dengan penempatan dan perlindungan AKP.

Keempat aturan turunan itu, adalah (i) Peraturan Menteri tentang ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan AKP Migran; (ii) Peraturan Menteri tentang perlindungan AK Perikanan Migran dan Niaga Migran selama bekerja; (iii) Peraturan Menteri tentang penempatan AKP Migran; dan (iv) Peraturan Menteri tentang perlindungan selama bekerja bagi AKP Migran.

Berkaitan dengan keempat aturan turunan itu, dia menilai kalau pemerintah hanya memiliki tujuan sebatas hitam dan putih pada PP 22/2022. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah kekosongan peraturan pelaksana terkait penempatan dan perlindungan AK niaga dan perikanan migran.

Berkaitan dengan keempat aturan turunan itu, dia menilai kalau pemerintah hanya memiliki tujuan sebatas hitam dan putih pada PP 22/2022. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah kekosongan peraturan pelaksana terkait penempatan dan perlindungan AK niaga dan perikanan migran.

Pada akhirnya, adanya aturan-aturan itu menjadi bagian dari mekanisme izin yang selektif dan merupakan suatu kontrol yang terukur, hati-hati, dan prosedural dalam pemberian izin penempatan pekerja migran kepada pengusaha. Tujuannya, agar perlindungan kepada AK niaga dan perikanan dapat lebih optimal.

“Ini bukti ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan tata kelola penempatan awak kapal niaga dan perikanan migran,” terang dia.

Padahal, dengan ketidakjelasan dan kekosongan aturan pelaksana itu justru akan memunculkan potensi korban karena resiko pekerjaan sebagai pekerja migran Indonesia. Potensi itu, terutama berkaitan dengan TPPO.

Ilustrasi. Seorang Awak Kapal Perikanan (AKP) di Pelabuhan Benoa, Bali menelepon kerabatnya setelah 11 bukan berada di tengah Samudera. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Kelima, pentingnya upaya ganti kerugian terhadap pelaku IUUF. Sorotan ini ditajamkan, karena KIA yang beroperasi di wilayah Indonesia erat dengan IUUF dan TPPO. Kondisi kerja tidak ideal juga sering dialami AKP seperti mendapatkan gaji rendah dan/atau gaji yang tidak dibayarkan, kondisi hidup dan kerja yang tidak layak, dan praktik kekerasan fisik yang bertujuan untuk mengeksploitasi AKP.

Selain itu, KIA juga menjadi sorotan karena penggunaan API tidak ramah lingkungan yang dilarang oleh Pemerintah. Sebut saja, penggunaan trawl, cantrang, pukat ikan, racun, listrik dan bahan peledak, atau bahan berbahaya lainnya yang merusak lingkungan laut.

Padahal, Wildanu mengatakan kalau tindakan tersebut seharusnya tidak terjadi. Mengingat, laut merupakan ekosistem hayati yang menjadi rumah bagi ikan dan semua biota laut. Itu kenapa, perlindungan dan pengelolaan laut harus dilakukan sebagai upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi ekosistem laut.

“Juga mencegah terjadinya kerusakan laut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum,” tuturnya.

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dengan UU Nomor 6 Tahun 2023, menegaskan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi.

Kemudian, Pasal 87 juga menegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa perusakan lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Selain itu, UU 32/2009 juga mengatur secara tegas terkait hak gugat atas kerusakan lingkungan hidup merupakan kewenangan Pemerintah. Oleh karenanya, penting untuk Pemerintah melakukan upaya gugatan atas ganti kerugian terhadap pelaku IUUF yang melakukan aktivitas tanpa izin di wilayah Indonesia.

Tidak hanya dilakukan kepada nahkoda/kapten kapal, tetapi tidak terbatas pada pengusaha dan/atau penerima manfaat dari pelaku IUUF tersebut. Dengan demikian, diharapkan ada pertanggungjawaban atas tindakan IUUF dan perusakan lingkungan laut.

Wildanu menilai, pengentasan TPPO dimulai dari melindungi AKP domestik, dan karenanya diperlukan kerja sama antara Kemnaker RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Berkaitan dengan itu, DFW Indonesia merekomendasikan:

  1. Mendorong pengesahan rancangan UU Kelautan yang menggabungkan antara Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) di bawah kendali Kemenhub RI;
  2. Mencabut wewenang penerbitan SIUPPAK dari Kemenhub RI dan melimpahkan wewenang perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) kepada Kemnaker RI sesuai dengan amanat UU No.18/2017;
  3. Membuat aturan teknis turunan PP 22/2022 terkait mekanisme perekrutan dan penempatan AKP migran dan lokal, serta melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap agensi perekrutan (manning agency);
  4. Melakukan sosialisasi dan edukasi masif kepada masyarakat terkait unsur, bentuk, dan tata cara pelaporan TPPO, baik melalui sosialisasi dan edukasi langsung, serikat pekerja dan pelaku usaha, media sosial, informasi cetak dan media lainnya, serta mempublikasikan laporan sosialisasi dan edukasi tersebut kepada masyarakat sebagai informasi publik;
  5. Melakukan peningkatan kapasitas dan pendidikan khusus yang dapat membangun perspektif nilai dan pemahaman kepada Kementerian dan/atau Lembaga, serta Aparat Penegak Hukum terkait dengan penanganan kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya di kawasan laut; dan
  6. Menuntut ganti kerugian kepada pelaku IUUF karena telah melakukan praktik ilegal penangkapan ikan dan perusakan lingkungan laut.

Pengalihan Kewenangan

Di sisi lain, upaya untuk menjaga keamanan dan keselamatan AKP, juga dilakukan KKP dengan mengalihkan kewenangan penerbitan sertifikasi dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP). Peralihan kewenangan itu disahkan melalui Surat Edaran Nomor B.933/MEN-KP/V/2024.

Kepala BPPSDM KP I Nyoman Radiarta menjelaskan kalau peralihan tersebut tidak sekedar perubahan administratif saja. Lebih dari itu, akan ada kejelasan dan konsistensi dalam proses penerbitan sertifikat AKP.

Peralihan tersebut merujuk pada ratifikasi Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F) 1995, yang menegaskan pentingnya standar internasional dalam pelatihan dan sertifikasi AKP.

“Ini adalah langkah penting dalam meningkatkan kualitas dan keamanan perkapalan, karena memastikan bahwa proses penerbitan sertifikat dilakukan dengan standar yang ketat,” kata dia belum lama ini di Jakarta. (***)

Editor : pejalan.or.id

Share |

Artikel Terkait